KATA PENGANTAR
Ada kesan sementara pihak bahwa tasawuf bersifat individual, pinggiran dan
tidak mempunyai rasa tanggung jawab sosial yang lebih riil. Pemahaman atau
kesan seperti ini adalah pemahaman klasik. Meski demikian pemahaman seperti ini
tidak bisa disalahkah begitu saja, karena hal ini ditimbulkan dari pemahaman
ulama klasik bahwa yang namanya tasawuf itu mengisolasikan diri dari keramaian
dunia, termasuk didalamnya dengan harta dan pangkat atau jabatan.
Pemahaman ulama
klasik ini di dorong oleh pemahaman secara sepihak terhadap ayat al Qur'an dan
hadis Nabi SAW yang bernada mendeskriditkan terhadap dunia, tanpa mau melihat
ayat maupun hadis yang bernada positif terhadapnya. Pemahaman ini tidak bisa
disalahkan, sebab pemahaman ini sejalan dengan situasi dan kondisi yang ada
pada waktu itu, karena perilaku politik dan ekonomi penguasa yang pada waktu
itu, dan orang kaya waktu itu terjadi sedemikian rupa, sehingga menuntut
sebagian sufi untuk melakukan penarikan diri dari keramaian duniawi.
Pemahaman seperti
itu tentunya tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang karena pada
masa modern seperti sekarang ini tasawuf dihadapkan pada tanggung jawab sosial
dalam kehidupan nyata. Tanggungjawabnya yang nyata itu antara lain bersifat
spiritual, psikologis, politik, moral, intelektual, ekonomi dan sebagainya.
Tanggungjawab spiritual, tasawuf hendaknya bisa memberikan kesejukan kepada
masyakat terutama pada masa kritis. Dalam aspek psikologis, tasawuf hendaknya
memberikan solusi bagi problema penyakit modern seperti stress, depresi, dan
sebagainya. Dalam aspek politik, tasawuf dituntut untuk memecahkan
ketidakadilan dan pemihakan terhadap kaum dhuafa.
Demikian pula
dalam bidang ekonomi hendaknya bisa lebih meratakan sembilan bahan pokok kepada
masyarakat luas. Dalam bidang moral, tasawuf hendaknya bisa menanggulangi
kenakalan remaja dan kaum tua yang sangat menyedihkan, dan dalam aspek
intelektual hendaknya tasawuf melakukan renungan yang bersifat intuitif,
sebagai alternatif pemecahan masalah, di samping rasionalisme dan empirisme.
Dengan demikian,
tasawuf dituntut lebih bersifat pragmatic, empirik dan fungsional, artinya
tasawuf dituntut lebih menyentuh kebutuhan hidup riil manusia modern, lebih
mampu memecahkan problema yang bersifat pengalaman, dan mempunyai peran riil dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, tasawuf akan menjadi tumpuan harapan bagi seluruh
lapisan masyarakat.
T A S A W U F
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf sebagai salah satu tipe mistisme,
dalam bahasa Inggris disebut Sufisme. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai
satu istilah sekitar akhir abad dua hijriah yang dikaitkan dengan salah satu
jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Kain sejenis itu sangat
digemari oleh para zahid sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu.
menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff, nampaknya cukup beralasan. Sebab,
antara keduanya ada hubungan korelasi, yakni antara jenis pakaian yang
sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan memakai wool kasar
juga sudah merupakan karakteristik kehidupan orang-orang soleh sebelum
datangnya Islam, sehingga mereka dijuluki dengan sufi, orang-orang yang memakai
shuff.
Ada
pula pendapat yang mengatakan, bahwa kata tasawuf berasal dari bahasa Yunani,
yakni sophos yang berarti hikmah atau keutamaan. Menurut pendapat ini, para
sufi adalah pencari hikmah atau ilmu hakikat. Pendapat lain memperkirakan kata
sufi berasal dari shafa atau shafwun yang berarti bening, karena hati sufi yang
selalu bening. Sementara lainnya mengatakan kata sufi berasal dari shaff atau
barisan, karena pada sufi selalu berada pada barisan terdepan dalam mencari
keridhoan Ilahi. Memperhatikan beberapa pendapat diatas, nampaknya sufi itu
adalah gelaran semata yang tidak terdapat dalam akar kata bahasa Arab, merupakan
satu panggilan kehormatan yang semisal dengan sebutan sahabat.
Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf
sebagai upaya awal untuk mendefinisian tasawuf, ternyata sulit untuk menarik
satu kesimpulan yang tepat, kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada
pendefinisian tasawuf sebagaimana halnya dalam mendefinisikan filsafat atau
mistisme. Kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esensi tasawuf sebagai
pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui
bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang
berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang
berbeda. Maka muncullah definisi tasawuf sebanya orang yang mencoba
menginformasikan pengalaman rohaniahnya itu. disamping faktor tadi juga karena
ciri tasawuf yang intuitif subjektif, dipersulit lagi karena pertumbuhan dan
kesejarahan tasawuf yang melalui berbagai segmen dan dalam kawasan kultur yang
bervariasi.
Namun, dari serangkaian definisi yang
ditawarkan para ahli ada satu asas yang disepakati, yakni tasawuf adalah
moralitas-moralitas yang berasaskan Islam. Artinya, bahwa pada prinsipnya
tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh ajarah Islam dari
berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Dari
definisi yang banyak jumlahnya itu, Ibrahim Basuni mengelompokkan kepada tiga
kategori, yaitu al-bidayat, al-mujahadat
dan al-madzaqot. Dia maksudkan dengan al-bidayat,
bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual
manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong para
sufi untuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah kepada Khaliqnya yang
dibarengi dengan kehidupan zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral
Definisi tasawuf yang dikategorikan al-mujahadat adalah seperangkat amaliah
dan latihan yang keras dengan satu tujuan, yaitu berjumpa dengan Allah. Kalau
definisi pertama al-bidayat didasarkan
kepada kesadaran manusia sebagai hamba Allah, yang kedua dikaitkan dengan upaya
mencari hubungan langsung dengan Allah, maka yang ketiga al-madzagot diartikan sebagai apa dan bagaimana yang dialami dan
dirasakan seseorang di hadirat Allah, apakah ia melihat Tuhan, atau merasakan
kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau ia merasa bersatu dengan Tuhan.
Berdasarkan kajian terhadap tasawuf dari
semua alirannya, ternyata tasawuf memiliki lima
ciri khas atau karakteristik :
1.
Tasawuf dari semua alirannya memiliki
obsesi kedamaian dan kebaagiaan spiritual yang abadi.
2.
Tasawuf merupakan pengetahuan langsung
yang diperoleh melalui tanggapan intuisi.
3.
Pada setiap perjalanan sufi berangkat
dari dan untuk peningkatan kualitas moral yakni pemurnian jiwa melalui serial
latihan yang keras dan berkelanjutan.
4.
Peleburan diri pada kehendak Tuhan
melalui fana, baik dalam pengertian simbolis atributis atau pengertian
substansial. Artinya, peleburan diri dengan sifat-sifat Tuhan dan atau
penyatuan diri dengan-Nya dalam realitas yang tunggal.
5.
Penggunaan kata simbolis dalam
pengungkapan pengalaman yang disebut dengan Sathohat.
B. Perkembangan Tasawuf
Term tasawuf dikenal
secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad dua Hijriah, sebagai
perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau pada zahid yang mengelompok di
serambi Masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih
mengkhususkan diri dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan
yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembangan
dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan
fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya
individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya
terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keaksikan duniawi. Fase asketisme ini
setidaknya sampai pada abad dua hijriah dan memasuki abad tiga hijriah sudah
terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini
dapat disebut sebagia fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan
sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para
zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan
bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis
lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai
teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempu oleh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri-ciri yang
dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah berkembangan
pembahasan tentang al-ma’rifat serta
perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’
dan ittihad. Bersamaan dengan
itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhasibi, al-Kharraj dan
al-Junaid dan lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu
baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa
pengetahuan praktis atau semacam langgam beragamaan.
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai
salah satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga
faktor, infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang
muncul. Pertama, adalah karena corak kehidupan kepelesiran yang diperagakan
terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Kedua, timbulnya sikap apatis
sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik
yang ditimbulkannya. Faktor ketiga, nampaknya adalah karena corak kodifikasi
hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi
etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya.
Sementara itu dalam abad tiga, Abu Yazid
al-Bisthomi melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui
al-fana, yakni beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahian
sehingga terjadi penyatuan manusia denganTuhan.
Sejak munculnya doktrin fana dan ittihad,
terjadilah pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya
tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya sehingga
dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah menaik lagi pada tingkat
penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia
secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan transformasi atau
transendensi melalui mi’raj spiritual ke alam ilahiyat.
Pemahaman terhadap aliran paham ini
menyebabkan timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kaum sufi
berpaham ittihad di pihak lain. Al-Ghazali pada abad lima
Hijriah mencoba mengadakan pendekatan dengan penegasan bahwa ucapan yang
berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi terkesima. Sebab dalam
kenyataannya, kata al-Ghazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa
kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan
simbolistik.
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Ghazali,
nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip,
bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama
lain tidak mungkin bersatu. Dipihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para
sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman kesufian puncak itu tanpa kehawatiran
dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan
tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki
fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf
sunni dan tasawuf filsafati.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ada
kecenderungan baru bahwa di sebagian lingkungann umat Islam Indonesia
tumbuh minat yang makin besar terhadap tasawuf. Minat terhadap tasawuf itu baik
yang masih terbatas pada pemikiran, maupun langsung mempraktikkan “jalan sufi
atau jalan tasawuf” dan praktik-praktik tarekat yang memang sudah lama mengakar
di tanah air.
Berkembangnya peminat atau pengikut jalan
tasawuf tersebut dapat dilihat dari antara lain larisnya buku-buku tasawuf
Islam, munculnya pemikiran-pemikiran yang bersifat spiritualistik, tumbuhnya
kelompok-kelompok pengajian tarekat, makin meningkatnya kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga
dan pondok-pondok pesantren tarekat, sampai pada praktik-praktik keagamaan yang
bersifat mistik. Yang termasuk menyolok akhir-akhir ini adalah kegiatan
sekelompok muslim yang berkeliling dari satu masjid ke masjid lain untuk mempraktikkan cara hidup Rasulullah seperti
dalam hal makan dan menjalin persaudaraan yang dalam praktik umat Islam pada
umumnya dianggap kurang begitu lazim.
Yang cukup menarik adalah, peminat atau
pengikut tasawuf serta tarekat tersebut berkembang pesat di kota-kota besar dan
kampus-kampus, seakan mewakili profil masyarakat muslim perkotaan dari kelas
menengah ke atas dan kaum terpelajar di tengah zaman yang tengah berubah dewasa
ini.
Sejak saat itulah tasawuf yang bermula dari
gerakan hidup zuhud berkembang menjadi aliran pemikiran dan filsafat tersendiri
dalam khazanah pemikiran dan praktik hidup keagamaan umat Islam dengan berbagai
macam kontroversinya. Di antara kontroversi yang dalam batas tertentu sering
dipandang menyimpang dari syari’at al-Qur’an dan as-Sunnah adalah kecenderungan
tasawuf yang melahirkan sikap dan
pemikiran apriori yang oleh Ibnu Taimiyah dikategorikan sebagai “tasawwuf
al-malahidah” (tasawuf ahteis) antara lain ide tentang tiga oknum ketuhanan (at-tatslis),
hulul (penitisan) dan inkarnasi (tanasukh), “wihdah
al-wujud” (penyatuan diri dengan Tuhan), al-muwahhadah (Pantheisme).
Termasuk dalam wilayah kontroversi tasawuf adalah ide dan sikap hidup kezuhudan
yang secara apriori cenderung anti dunia dan orientasi serba keakhiratan (ascestis),
mementingkan kesalehan pribadi semata, melepaskan diri dari beban syari’at
dalam melakukan ibadah, dan praktik-praktik tasawuf yang cenderung melakukan
bid’ah dan khurafat.
Tetapi harus diakui kelebihan dan sekaligus
kontribusi terpenting dari tasawuf terhadap khasanah pemikiran dan praktik
keagamaan umat Islam adalah tekanannya pada usaha yang sungguh-sungguh dalam
melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah lewat berbagai
bentuk zikrullah, penyucian jiwa dan hati melalui berbagai latihan kejiwaan (al-mumarasah)
dan kontemplasi (al-kasyf), menghayati ajaran sampai ke tingkat
kedalamannya (al-makrifat), sikap al zuhud wal al-wara, melakukan
amalan kebajikan yang murni (khalisah) dan terpuji (mahmudhah), dan berbagai
sikap laku yang menunjukkan keluruhan spiritual yang memang diajarkan dalam
Islam dan memperoleh contoh teladan Nabi seperti terkandung dalam konsep ajaran
Ibadah dan akhlak.
Persoalannya, kenapa sebagian umat Islam
dewasa ini mengikuti jalan tasawuf? Dalam hal ini tampaknya ada dua faktor
utama yang mendorong pilihan sebagian umat pada tasawuf. Pertama, adalah faktor internal. Yaitu orientasi yang terlalu
formal verbal dan semata-mata menyentuh kulit luar dari pelaksanan ajaran Islam
melalui pendekatan fiqih.
Ada
faktor internal lain yang ikut mendorong berkembangnya minat terhadap tasawuf
dan jalan sufi. Yakni, menurut sementara pendapat, orientasi yang bersifat
rasional dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam di kalangan umat seperti
yang banyak diperkenankan oleh gerakan-gerakan Islam pembaharu. Akibatnya
timbul proses pengeringan aspek spiritual dan mistikal dalam khazanah pemikiran
dan pengamalan Islam.
Faktor kedua,
adalah faktor eksternal. Diakui bahwa kehidupan modern di samping melahirkan
berbagai lompotan kemajuan khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan daya eksplorasi manusia dalam mengolah alam dan kehidupannya,
juga melahirkan sisi lain yang dirasakan sebagai menimbulkan krisis dalam
kehidupan manusia itu sendiri. Persoalan yang mendasar bagi umat Islam adalah,
adakah jalan tasawuf semacam itu merupakan pilihan yang cukup tuntas baik dari
segi totalitas ajaran Islam maupun fungsi kehidupan setiap umat dalam mengemban
misi hidup dunia dan akhirat dalam keseluruhan aspeknya sebagaimana Islam
mengajarkannya demikian?
C. Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi
adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila
diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran
antara dari tasawuf, yaitu :
- Pembinaan aspek moral yang meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral.
- Tasawuf bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis. (metode al-kasyf al-hijab)
- Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.
D. Ajaran Tasawuf
Ada
tiga permasalahan besar yang dibicarakan oleh semua agama di dunia ini. Pertama
tentang Tuhan, kedua tentang manusia dan ketiga tentang dunia. Masing-masing
agama mempunyai konsep atau ajaran sendiri-sendiri tentang ketiga hal tersebut.
Sementara Islam, dan lebih spesifik lagi tasawuf, mempunyai konsep tersendiri
tentang tiga hal tersebut.
Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat
sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia dijelaskan oleh al-Qur’an
sendiri, “Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku sangat
dekat dan aku mengabulkan seruan orang yang
memanggil jika Aku dipanggil.”
(Qs. Al-Baqarah: 186)
(Qs. Al-Baqarah: 186)
Kaum sufi mengartikan “doa” disini bukan
seperti lazimnya pengertian doa, tetapi berseru agar Tuhan mengabulkan
seruannya untuk melihat Tuhan dan dekat kepada-Nya. Dia berseru agar Tuhan
membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya
Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut ini, “Timur dan barat kepunyaan Tuhan,
maka kemana saja engkau berpaling di situ ada wajah Tuhan”. (Qs. Al-Baqarah:
115). Ayat ini berarti bahwa di mana saja Tuhan dapat dijumpai.
Untuk mencari Tuhan, seorang sufi tak perlu
pergi jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya, dan Tuhan yang dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya sendiri. Pemahaman ini didasarkan pada pemahaman maksud
dari Firman Allah berikut ini, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi
Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melempar ketika engkau
melempar, tapi Allah-lah yang melemparkannya.” (Qs. Al-Anfal: 17)
Sufi melihat persatuan manusia dengan
Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahkan Tuhan dekat bukan hanya
kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain. Dari sini kemudian muncullah
paham bahwa Tuhan dan makhluk dapat bersatu (ittihad). Seorang sufi yang khusyu’ dan banyak beribadat akan
merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya, dan akhirnya
mengalami persatuan ruh dengan ruh Tuhan, dan inilah hakikat tasawuf.
Jalan yang ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai ke tingkat dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya bersatu
dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Karena itu hanya sedikit sekali
orang yang bisa sampai ke puncak tujuan tasawuf tersebut. Jalan inilah yang
dalam istilah tasawuf di sebut thariqah.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah jalan menuju kepada Tuhan untuk mendapatkan
ridha-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya.
Jalan pendekatan diri kepada Tuhan, yang
intinya adalah penyucian diri, oleh kaum sufi dibagi ke dalam stasiun-stasiun
yang dalam bahasa Arab disebut maqamat,
tempat seorang sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar
dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya.
Di samping maqam, dalam literatur sufi
terdapat istilah ahwal, yaitu keadaan
mental yang diberikan kepada seseorang seperti perasaan senang, sedih takut dan
sebagainya. Ahwal semata-mata berkat rahmat dan anugrah dari Tuhan, bersifat
sementara, datang dan pergi kepada seorang sufi dalam perjalanannya mencari
Tuhan.
Proses taqarrub Ilahiyah bagi calon sufi,
pada awal mulanya masih dipengaruhi oleh rasa takut akan dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa was-was, apakah
taubatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya untuk
mendekat kepada Tuhan, atau sebaliknya. Lambat laun ia merasakan bahwa Tuhan
bukanlah Dzat yang mudah murka, tetapi Dzat Yang Sayang dan Kasih kepada
hamba-Nya. Rasa takut hilang dan sebagai gantinya timbullah rasa cinta kepada
Tuhan. Pada stasiun ridha, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya.
Maka ia pun sampai ke stasiun mahabbah
(cinta Ilahi), dan akhirnya mengalami persatuan ruh dengan ruh Tuhan, dan
inilah hakikat tasawuf.
E. Penutup
Tasawuf merupakan salah satu bagian dari
ajaran Islam yang secara keilmuan lahir di kemudian hari melalui proses yang
panjang dengan dinamikanya sendiri. Kelahirannya sebagai perwujudan dari
pemahaman al Qur'an dan al Hadis sesuai dengan konteks zamannya.
Memasuki abad ke 21 ini, ketika masyarakat
Indonesia khususnya dan masyarakat dunia memasuki era baru dalam kehidupan
modern-industrial yang serba rasionalistik dan organistik, di mana masyarakat
yang tidak kuat dengan keindahan dunia akan menjadi loba terhadap dunia,
sementara masyarakat yang takut dengan kehidupan akherat akan selalu
mendekatkan dirinya kepada Allah. Salah satu jalan yang saat ini berkembang
baik di dunia Indonesia
maupun dunia yaitu tasawuf yang menawarkan spiritualitas Islam yang lebih tahan
uji menghadapi arus zaman. Tasawuf menitikberatkan pada kecintaannya kepada
akherat lebih bersifat zuhud dalam
menghadapi arus zaman sekarang.
Di mana terdapat tiga ajaran pokok tasawuf,
yakni tentang Tuhan, manusia dan dunia. Ketiga-tiganya mempunyai hubungan
sistemik. Tuhan itu ruhani dan maha suci. Oleh karena itu yang dapat mendekati
dan mengenal_nya ialah ruh (intuisi) manusia yang suci dari hal-hal yang
mengotorinya, yaitu dunia. Dengan demikian diperlukan upaya pembersihan diri
dengan mujahadan dan riyadhah, melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu maqamat.
Secara esensial tasawuf mempunyai ajaran
sosial, seperti al-Futuwwah (sikap kepahlawanan) dan al_itsar (sikap
mementingkan orang lain). Sikap penarikan diri dari keramaian dunia pada awal
pembentukan tasawuf bisa diberi makna sebagai sikap kepedulian sosial dan
merupakan protes secara pasif terhadap ketimpangan sosial.
Demikianlah pembahasan tentang tasawuf,
apabila yang telah penulis kemukakan di atas terdapat kesalahan-kesalahan,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan ini dapat berguna bagi
kita semua.
Daftar Pustaka
Al Qur'an dan Terjemahnya. Depag
RI. Jakarta.
1995.
Nasution, Harun, 1987. Islam
ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta.
Simuh, 1989. Perkembangan Tasawuf dan
Pemurniannya, Jakarta.
Siregar, H. A. Rivay, 1999, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke
Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syukur,
Amin, 1999. Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Klik aku di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih