SELAMAT DATANG

Selamat Datang di http://widodoalgani.blogspot.com
Semoga Bermanfaat.
Mohon tinggalkan komentar.

Selasa, 13 September 2011

T A S A W U F

KATA PENGANTAR

Ada kesan sementara pihak bahwa tasawuf bersifat individual, pinggiran dan tidak mempunyai rasa tanggung jawab sosial yang lebih riil. Pemahaman atau kesan seperti ini adalah pemahaman klasik. Meski demikian pemahaman seperti ini tidak bisa disalahkah begitu saja, karena hal ini ditimbulkan dari pemahaman ulama klasik bahwa yang namanya tasawuf itu mengisolasikan diri dari keramaian dunia, termasuk didalamnya dengan harta dan pangkat atau jabatan.
Pemahaman ulama klasik ini di dorong oleh pemahaman secara sepihak terhadap ayat al Qur'an dan hadis Nabi SAW yang bernada mendeskriditkan terhadap dunia, tanpa mau melihat ayat maupun hadis yang bernada positif terhadapnya. Pemahaman ini tidak bisa disalahkan, sebab pemahaman ini sejalan dengan situasi dan kondisi yang ada pada waktu itu, karena perilaku politik dan ekonomi penguasa yang pada waktu itu, dan orang kaya waktu itu terjadi sedemikian rupa, sehingga menuntut sebagian sufi untuk melakukan penarikan diri dari keramaian duniawi.
Pemahaman seperti itu tentunya tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang karena pada masa modern seperti sekarang ini tasawuf dihadapkan pada tanggung jawab sosial dalam kehidupan nyata. Tanggungjawabnya yang nyata itu antara lain bersifat spiritual, psikologis, politik, moral, intelektual, ekonomi dan sebagainya. Tanggungjawab spiritual, tasawuf hendaknya bisa memberikan kesejukan kepada masyakat terutama pada masa kritis. Dalam aspek psikologis, tasawuf hendaknya memberikan solusi bagi problema penyakit modern seperti stress, depresi, dan sebagainya. Dalam aspek politik, tasawuf dituntut untuk memecahkan ketidakadilan dan pemihakan terhadap kaum dhuafa.
Demikian pula dalam bidang ekonomi hendaknya bisa lebih meratakan sembilan bahan pokok kepada masyarakat luas. Dalam bidang moral, tasawuf hendaknya bisa menanggulangi kenakalan remaja dan kaum tua yang sangat menyedihkan, dan dalam aspek intelektual hendaknya tasawuf melakukan renungan yang bersifat intuitif, sebagai alternatif pemecahan masalah, di samping rasionalisme dan empirisme.
Dengan demikian, tasawuf dituntut lebih bersifat pragmatic, empirik dan fungsional, artinya tasawuf dituntut lebih menyentuh kebutuhan hidup riil manusia modern, lebih mampu memecahkan problema yang bersifat pengalaman,  dan mempunyai peran riil dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tasawuf akan menjadi tumpuan harapan bagi seluruh lapisan masyarakat.

T A S A W U F

A.     Pengertian Tasawuf

Tasawuf sebagai salah satu tipe mistisme, dalam bahasa Inggris disebut Sufisme. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abad dua hijriah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Kain sejenis itu sangat digemari oleh para zahid sehingga menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu. menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff, nampaknya cukup beralasan. Sebab, antara keduanya ada hubungan korelasi, yakni antara jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan memakai wool kasar juga sudah merupakan karakteristik kehidupan orang-orang soleh sebelum datangnya Islam, sehingga mereka dijuluki dengan sufi, orang-orang yang memakai shuff.
Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa kata tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yakni sophos yang berarti hikmah atau keutamaan. Menurut pendapat ini, para sufi adalah pencari hikmah atau ilmu hakikat. Pendapat lain memperkirakan kata sufi berasal dari shafa atau shafwun yang berarti bening, karena hati sufi yang selalu bening. Sementara lainnya mengatakan kata sufi berasal dari shaff atau barisan, karena pada sufi selalu berada pada barisan terdepan dalam mencari keridhoan Ilahi. Memperhatikan beberapa pendapat diatas, nampaknya sufi itu adalah gelaran semata yang tidak terdapat dalam akar kata bahasa Arab, merupakan satu panggilan kehormatan yang semisal dengan sebutan sahabat.
Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefinisian tasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat, kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada pendefinisian tasawuf sebagaimana halnya dalam mendefinisikan filsafat atau mistisme. Kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda. Maka muncullah definisi tasawuf sebanya orang yang mencoba menginformasikan pengalaman rohaniahnya itu. disamping faktor tadi juga karena ciri tasawuf yang intuitif subjektif, dipersulit lagi karena pertumbuhan dan kesejarahan tasawuf yang melalui berbagai segmen dan dalam kawasan kultur yang bervariasi.
Namun, dari serangkaian definisi yang ditawarkan para ahli ada satu asas yang disepakati, yakni tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan Islam. Artinya, bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh ajarah Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Dari definisi yang banyak jumlahnya itu, Ibrahim Basuni mengelompokkan kepada tiga kategori, yaitu al-bidayat, al-mujahadat dan al-madzaqot. Dia maksudkan dengan al-bidayat, bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong para sufi untuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah kepada Khaliqnya yang dibarengi dengan kehidupan zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral
Definisi tasawuf yang dikategorikan al-mujahadat adalah seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan, yaitu berjumpa dengan Allah. Kalau definisi pertama al-bidayat didasarkan kepada kesadaran manusia sebagai hamba Allah, yang kedua dikaitkan dengan upaya mencari hubungan langsung dengan Allah, maka yang ketiga al-madzagot diartikan sebagai apa dan bagaimana yang dialami dan dirasakan seseorang di hadirat Allah, apakah ia melihat Tuhan, atau merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau ia merasa bersatu dengan Tuhan.
Berdasarkan kajian terhadap tasawuf dari semua alirannya, ternyata tasawuf memiliki lima ciri khas atau karakteristik :
1.      Tasawuf dari semua alirannya memiliki obsesi kedamaian dan kebaagiaan spiritual yang abadi.
2.      Tasawuf merupakan pengetahuan langsung yang diperoleh melalui tanggapan intuisi.
3.      Pada setiap perjalanan sufi berangkat dari dan untuk peningkatan kualitas moral yakni pemurnian jiwa melalui serial latihan yang keras dan berkelanjutan.
4.      Peleburan diri pada kehendak Tuhan melalui fana, baik dalam pengertian simbolis atributis atau pengertian substansial. Artinya, peleburan diri dengan sifat-sifat Tuhan dan atau penyatuan diri dengan-Nya dalam realitas yang tunggal.
5.      Penggunaan kata simbolis dalam pengungkapan pengalaman yang disebut dengan Sathohat.

B.     Perkembangan Tasawuf

Term tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad dua Hijriah, sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau pada zahid yang mengelompok di serambi Masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembangan dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keaksikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada abad dua hijriah dan memasuki abad tiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagia fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempu oleh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah berkembangan pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ittihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhasibi, al-Kharraj dan al-Junaid dan lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam beragamaan.
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor, infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul. Pertama, adalah karena corak kehidupan kepelesiran yang diperagakan terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Faktor ketiga, nampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya.
Sementara itu dalam abad tiga, Abu Yazid al-Bisthomi melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahian sehingga terjadi penyatuan manusia denganTuhan.
Sejak munculnya doktrin fana dan ittihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah menaik lagi pada tingkat penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan transformasi atau transendensi melalui mi’raj spiritual ke alam ilahiyat.
Pemahaman terhadap aliran paham ini menyebabkan timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kaum sufi berpaham ittihad di pihak lain. Al-Ghazali pada abad lima Hijriah mencoba mengadakan pendekatan dengan penegasan bahwa ucapan yang berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi terkesima. Sebab dalam kenyataannya, kata al-Ghazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Ghazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip, bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Dipihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman kesufian puncak itu tanpa kehawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan  tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ada kecenderungan baru bahwa di sebagian lingkungann umat Islam Indonesia tumbuh minat yang makin besar terhadap tasawuf. Minat terhadap tasawuf itu baik yang masih terbatas pada pemikiran, maupun langsung mempraktikkan “jalan sufi atau jalan tasawuf” dan praktik-praktik tarekat yang memang sudah lama mengakar di tanah air.
Berkembangnya peminat atau pengikut jalan tasawuf tersebut dapat dilihat dari antara lain larisnya buku-buku tasawuf Islam, munculnya pemikiran-pemikiran yang bersifat spiritualistik, tumbuhnya kelompok-kelompok pengajian tarekat, makin meningkatnya kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga dan pondok-pondok pesantren tarekat, sampai pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat mistik. Yang termasuk menyolok akhir-akhir ini adalah kegiatan sekelompok muslim yang berkeliling dari satu masjid ke masjid lain untuk  mempraktikkan cara hidup Rasulullah seperti dalam hal makan dan menjalin persaudaraan yang dalam praktik umat Islam pada umumnya dianggap kurang begitu lazim.
Yang cukup menarik adalah, peminat atau pengikut tasawuf serta tarekat tersebut berkembang pesat di kota-kota besar dan kampus-kampus, seakan mewakili profil masyarakat muslim perkotaan dari kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar di tengah zaman yang tengah berubah dewasa ini.
Sejak saat itulah tasawuf yang bermula dari gerakan hidup zuhud berkembang menjadi aliran pemikiran dan filsafat tersendiri dalam khazanah pemikiran dan praktik hidup keagamaan umat Islam dengan berbagai macam kontroversinya. Di antara kontroversi yang dalam batas tertentu sering dipandang menyimpang dari syari’at al-Qur’an dan as-Sunnah adalah kecenderungan tasawuf yang  melahirkan sikap dan pemikiran apriori yang oleh Ibnu Taimiyah dikategorikan sebagai “tasawwuf al-malahidah” (tasawuf ahteis) antara lain ide tentang tiga oknum ketuhanan (at-tatslis), hulul (penitisan) dan inkarnasi (tanasukh), “wihdah al-wujud” (penyatuan diri dengan Tuhan), al-muwahhadah (Pantheisme). Termasuk dalam wilayah kontroversi tasawuf adalah ide dan sikap hidup kezuhudan yang secara apriori cenderung anti dunia dan orientasi serba keakhiratan (ascestis), mementingkan kesalehan pribadi semata, melepaskan diri dari beban syari’at dalam melakukan ibadah, dan praktik-praktik tasawuf yang cenderung melakukan bid’ah dan khurafat.
Tetapi harus diakui kelebihan dan sekaligus kontribusi terpenting dari tasawuf terhadap khasanah pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam adalah tekanannya pada usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah lewat berbagai bentuk zikrullah, penyucian jiwa dan hati melalui berbagai latihan kejiwaan (al-mumarasah) dan kontemplasi (al-kasyf), menghayati ajaran sampai ke tingkat kedalamannya (al-makrifat), sikap al zuhud wal al-wara, melakukan amalan kebajikan yang murni (khalisah) dan terpuji (mahmudhah), dan berbagai sikap laku yang menunjukkan keluruhan spiritual yang memang diajarkan dalam Islam dan memperoleh contoh teladan Nabi seperti terkandung dalam konsep ajaran Ibadah dan akhlak.
Persoalannya, kenapa sebagian umat Islam dewasa ini mengikuti jalan tasawuf? Dalam hal ini tampaknya ada dua faktor utama yang mendorong pilihan sebagian umat pada tasawuf. Pertama, adalah faktor internal. Yaitu orientasi yang terlalu formal verbal dan semata-mata menyentuh kulit luar dari pelaksanan ajaran Islam melalui pendekatan fiqih. 
Ada faktor internal lain yang ikut mendorong berkembangnya minat terhadap tasawuf dan jalan sufi. Yakni, menurut sementara pendapat, orientasi yang bersifat rasional dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam di kalangan umat seperti yang banyak diperkenankan oleh gerakan-gerakan Islam pembaharu. Akibatnya timbul proses pengeringan aspek spiritual dan mistikal dalam khazanah pemikiran dan pengamalan Islam.
Faktor kedua, adalah faktor eksternal. Diakui bahwa kehidupan modern di samping melahirkan berbagai lompotan kemajuan khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan daya eksplorasi manusia dalam mengolah alam dan kehidupannya, juga melahirkan sisi lain yang dirasakan sebagai menimbulkan krisis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Persoalan yang mendasar bagi umat Islam adalah, adakah jalan tasawuf semacam itu merupakan pilihan yang cukup tuntas baik dari segi totalitas ajaran Islam maupun fungsi kehidupan setiap umat dalam mengemban misi hidup dunia dan akhirat dalam keseluruhan aspeknya sebagaimana Islam mengajarkannya demikian?

C.     Tujuan Tasawuf

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran antara dari tasawuf, yaitu :
  1. Pembinaan aspek moral yang meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral.
  2. Tasawuf bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis. (metode al-kasyf al-hijab)
  3. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.

D.    Ajaran Tasawuf

Ada tiga permasalahan besar yang dibicarakan oleh semua agama di dunia ini. Pertama tentang Tuhan, kedua tentang manusia dan ketiga tentang dunia. Masing-masing agama mempunyai konsep atau ajaran sendiri-sendiri tentang ketiga hal tersebut. Sementara Islam, dan lebih spesifik lagi tasawuf, mempunyai konsep tersendiri tentang tiga hal tersebut.
Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia dijelaskan oleh al-Qur’an sendiri, “Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku sangat dekat dan aku mengabulkan seruan orang yang  memanggil jika Aku dipanggil.”
(Qs. Al-Baqarah: 186)
Kaum sufi mengartikan “doa” disini bukan seperti lazimnya pengertian doa, tetapi berseru agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan dekat kepada-Nya. Dia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut ini, “Timur dan barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja engkau berpaling di situ ada wajah Tuhan”. (Qs. Al-Baqarah: 115). Ayat ini berarti bahwa di mana saja Tuhan dapat dijumpai.
Untuk mencari Tuhan, seorang sufi tak perlu pergi jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya, dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Pemahaman ini didasarkan pada pemahaman maksud dari Firman Allah berikut ini, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar, tapi Allah-lah yang melemparkannya.” (Qs. Al-Anfal: 17)
Sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahkan Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain. Dari sini kemudian muncullah paham bahwa Tuhan dan makhluk dapat bersatu (ittihad). Seorang sufi yang khusyu’ dan banyak beribadat akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya, dan akhirnya mengalami persatuan ruh dengan ruh Tuhan, dan inilah hakikat tasawuf.
Jalan yang ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai ke tingkat dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai ke puncak tujuan tasawuf tersebut. Jalan inilah yang dalam istilah tasawuf di sebut thariqah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah jalan menuju kepada Tuhan untuk mendapatkan ridha-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya.
Jalan pendekatan diri kepada Tuhan, yang intinya adalah penyucian diri, oleh kaum sufi dibagi ke dalam stasiun-stasiun yang dalam bahasa Arab disebut maqamat, tempat seorang sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya.
Di samping maqam, dalam literatur sufi terdapat istilah ahwal, yaitu keadaan mental yang diberikan kepada seseorang seperti perasaan senang, sedih takut dan sebagainya. Ahwal semata-mata berkat rahmat dan anugrah dari Tuhan, bersifat sementara, datang dan pergi kepada seorang sufi dalam perjalanannya mencari Tuhan.
Proses taqarrub Ilahiyah bagi calon sufi, pada awal mulanya masih dipengaruhi oleh rasa takut akan dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa was-was, apakah taubatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya untuk mendekat kepada Tuhan, atau sebaliknya. Lambat laun ia merasakan bahwa Tuhan bukanlah Dzat yang mudah murka, tetapi Dzat Yang Sayang dan Kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan sebagai gantinya timbullah rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasiun ridha, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasiun mahabbah (cinta Ilahi), dan akhirnya mengalami persatuan ruh dengan ruh Tuhan, dan inilah hakikat tasawuf.

E.     Penutup

Tasawuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam yang secara keilmuan lahir di kemudian hari melalui proses yang panjang dengan dinamikanya sendiri. Kelahirannya sebagai perwujudan dari pemahaman al Qur'an dan al Hadis sesuai dengan konteks zamannya.
Memasuki abad ke 21 ini, ketika masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia memasuki era baru dalam kehidupan modern-industrial yang serba rasionalistik dan organistik, di mana masyarakat yang tidak kuat dengan keindahan dunia akan menjadi loba terhadap dunia, sementara masyarakat yang takut dengan kehidupan akherat akan selalu mendekatkan dirinya kepada Allah. Salah satu jalan yang saat ini berkembang baik di dunia Indonesia maupun dunia yaitu tasawuf yang menawarkan spiritualitas Islam yang lebih tahan uji menghadapi arus zaman. Tasawuf menitikberatkan pada kecintaannya kepada akherat lebih bersifat  zuhud dalam menghadapi arus zaman sekarang.
Di mana terdapat tiga ajaran pokok tasawuf, yakni tentang Tuhan, manusia dan dunia. Ketiga-tiganya mempunyai hubungan sistemik. Tuhan itu ruhani dan maha suci. Oleh karena itu yang dapat mendekati dan mengenal_nya ialah ruh (intuisi) manusia yang suci dari hal-hal yang mengotorinya, yaitu dunia. Dengan demikian diperlukan upaya pembersihan diri dengan mujahadan dan riyadhah, melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu maqamat.
Secara esensial tasawuf mempunyai ajaran sosial, seperti al-Futuwwah (sikap kepahlawanan) dan al_itsar (sikap mementingkan orang lain). Sikap penarikan diri dari keramaian dunia pada awal pembentukan tasawuf bisa diberi makna sebagai sikap kepedulian sosial dan merupakan protes secara pasif terhadap ketimpangan sosial.
Demikianlah pembahasan tentang tasawuf, apabila yang telah penulis kemukakan di atas terdapat kesalahan-kesalahan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan ini dapat berguna bagi kita semua.

Daftar Pustaka

Al Qur'an dan Terjemahnya. Depag RI. Jakarta. 1995.

Nasution, Harun, 1987. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Simuh, 1989. Perkembangan Tasawuf dan Pemurniannya, Jakarta.

Siregar, H. A. Rivay, 1999, Tasawuf  Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syukur, Amin, 1999. Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Klik aku di sini:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih