SELAMAT DATANG

Selamat Datang di http://widodoalgani.blogspot.com
Semoga Bermanfaat.
Mohon tinggalkan komentar.

Rabu, 27 April 2011

MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDA


MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDA
(Kajian Pemikiran Keduanya di Indonesia)

Pendahuluan
Periode modern dalam sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke 20 M dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dann diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid'ah, khurafat dan takhayul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka, karena itu mereka berusaha bangkit dengan Mencontoh Barat dalam masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
Pemikiran Muhammad Abduh

1. Teologi

Teologi (ilmu tauhid) dalam pendapat Muhammad Abduh mempunyai dua objek kajian, yaitu tentang Allah dan tentang Rasul. Kajian tentang Allah tidak hanya membicarakan wujud Allah, tetapi juga tentang manusia sebagai ciptaan Tuhan. Dari itulah dalam sistem teologinya ditemukan pengkajian tentang perbuatan manusia disamping masalah-masalah ketuhanan lainnya.
Pandangan Muhammad Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Menurutnya ada tiga unsur yang mendukung suatu perbuatan, yaitu akal, kemauan dan daya. Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan bagi manusia yang dapat dipergunakannya dengan bebas. Jadi akal dan kebebasan memilih adalah natur manusia yang merupakan dua keistimewaan yang dimiliki manusia yang tidak terdapat pada makhluk lainnya. Kalau salah satu diantara keduanya hilang, kata Muhammad Abduh, maka ia tidak lagi bernama manusia, tetapi mungkin malaikat dan mungkin pula binatang.

2. Syariah

Pemikiran Muhammad Abduh dalam masalah ini akan diungkapkan dalam dua hal, yaitu pandangannya tentang ijtihad dan mazhab fikih dan corak ijtihad yang dilakukannya. Muhammad Abduh tampaknya sangat menghargai para mujtahid dari aliran atau mazhab fikih mana pun. Dalam pandangannya para mujtahid adalah mereka yang telah mengorbankan kesanggupannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah.
Seorang muslim, kata Muhammad Abduh, haruslah memandang hasil ijtihad tersebut sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar dan yang bisa saja bersalah. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat tersebut adalah dengan kembali kepada sumbernya yang asli, yaitu Qur’an dan Sunnah. Tiadanya ijtihad menyebabkann kaum muslimin akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syariah. Hal inilah tampaknya yang menjadi salah satu dasar pemikiran Muhammad Abduh untuk menganggap pintu ijtihad tidak mungkin ditutup, tetapi harus dibuka untuk selamanya.
Salah satu cara yang diterapkan Muhammad Abduh dalam berijtihad adalah memelihara manfaat dan kemaslahatan umum.  Teks-teks Qur’an, kata Muhammad Abduh,  mengandung prinsip-prinsip yang umum dan kekal, serta sesuai dengan kemaslahatan manusia dalam segala masa dan tempat. Dari itulah ia harus diaplikasikan ke dalam problema yang timbul berdasarkan kemaslahatan manusia yang dikandungnya. Pengaplikasian tersebut memerlukan ijtihad karena situasi dan kondisi yang terus berubah dengan peninjauan ulang terhadap pendapat dan hasil lijtihad masa lalu. Dengan demikian menurutnya pintu ijtihad tidak pernah tertutup, dan seperti kata Fazlurrahman, pendapat yang demikian membuka kemungkinan masuknya ide-ide baru dan pencarian ilmu pengetahuan pada umumnya.

3. Pendidikan

Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar-belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial  keagamaan dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu.
Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khurafat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu, juga berkembang di Mesir. Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahsa, syariah, akidah dan sistem masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang di atas tampaknya terkait antara satu dengan lainnya dan kejumudan dalam satu bidang, terutama bidang akidah mempengaruhi bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Muhammad Abduh berasumsi bahwa, akidah jabariat-lah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kejumudan itu. Ajarannya yang cenderung kepada sikap pasif dan kepercayaan pada kasih sayang Tuhann mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan. Konsekuensinya, moral umat Islam semakin jauh menyimpang dari tuntutan Islam.
Situasi lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan yang ada saat itu. Seperti diketahui, pada  abad kesembilan belas Muhammad Ali memulai pembaharuan pendidikan di Mesir. Pembaharuan yang timpang, yang hanya menekankan perkembangan aspek intelek, mewariskan dua tipe pendidikan pada abad keduapuluh. Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa Asing.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya mementingkan perkembangan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya.
Disamping pendidikan akal ia pun mementingkan pendidikan spiritual. Dengan demikian ia tidak hanya mengharapkan  lahirnya generasi yang mampu berpikir, tetapi juga yang memiliki akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkannya moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan demikian kedua aspek, akal dan spiritual, menjadi sasaran utama pendidikan Muhammad Abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.
Pemikiran Rasyid Rida
1.      Dalam bidang Agama
Rasyid Rida melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Al Qur'an, yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern tetapi guru tidak sefaham dengan murid dalam hal ini. Akan tetapi, Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al Qur'an di al Azhar setelah didesak muridnya. Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan dihadiri oleh Rasyid Rida. Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat untuk seterusnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Dengan demikian timbulah apa yang kemudian dikenal dengan tafsir al Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan guru. Muhammad Abduh memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari surat an Nisa' (Jilid III dari tafsir al Manar) dan selanjutnya adalah tafsiran murid sendiri.
2.      Bidang pendidikan
Rasyid Rida juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.
3.      Bidang Politik
Sewaktu masih di tanah airnya Rasyid Rida telah pernah memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir ia juga ingin meneruskan kegiatan politiknya. Tetapi atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia memulai bermain politik. Di dalam majalah al Manar ia mulai menulis dan memuat karangan-karangan yang menentang pemerintahan absolut Kerajaan Usmani. Selanjutnya juga tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membagi-bagi dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing.
Untuk  menggagalkan politik Inggris-Perancis itu, ia kunjungi beberapa negara Arab guna menjelaskan bahaya politik kerjasama Arab dengan Inggris dan Perancis dalam usaha mereka menjatuhkan Kerajaan Usmani. Usahanya dengan Raja Faisal di Hejaz gagal. Selanjutnya ia turut memainkan peranan dalam kongres Suria dan dalam perundingan Arab dengan Inggris.  Di Konferensi Jenewa ia turut serta sebagai anggota Delegasi Suria-Palestina.
Di masa tua, sungguhpun kesehatannya telah selalu terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya dari menghantarkan pangeran Su'ud ke kapal di Suez.
Pengaruh Pemikiran Keduanya di Indonesia
            Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya ~ yang dikenal dengan gerakan pembaharuan ~ didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
            Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang  mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokok pemikir Islam terkenal, Jamaluddin al-Afghani (1839 – 1897 M).
            Kedua gerakan ini serta adanya usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam, di Indonesia muncul partai politik besar yang menentang penjajahan di Indonesia seperti Sarekat Islam (S1), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, parti ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. tak lama kemudian partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru), didirikan oleh Mohammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam Indonesia dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam kenyataan, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.
Akhirnya, negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaanya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Membahas kondisi umat Islam Indonesia, adalah umat yang unik. Keunikan itu dpat dilihat dari besarnya kuantitas para pemeluknya, akan tetapi kecil kualitas peranannya, terutama dalam percaturan politik pemerintahan. Hal semacam ini dapat terjadi karena bermacam-macam sebab, seperti: latar belakang pendidikan, lingkungan, kedudukan, keturunan dan banyak lagi. Kondisi demikian tentu membawa pola berpikir dan pandangan tentang Islam satu sama lain berbeda.
Kondisi umat Islam Indonesia seperti ini perlu mendapat perhatian yang serius dari kalangan pemikir Islam. Akhirnya pada abad ke XIX pikiran-pikiran reformasi Islam yang timbul di Mesir di bawah pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh bermunculan. Hal ini disebabkan karena perhubungan antara Indonesia dengan Makkah menjadi lebih cepat dengan adanya kapal api. Maka makin banyak orang Indonesia pergi menunaikan ibadah haji dan mereka berkenalan dengan pikiran-pikiran masa itu di tanah Arab dan Timur Tengah pada umumnya. Maka disadarilah bahwa dalam masa beberapa ratus tahun antara abad XV dan abad XIX itu terdapat perbedaan besar dalam pikiran-pikiran orthodox yang dikemukakan di Makkah ke daerah pesisir dan ke daerah pedalaman di Indonesia yang kesemuanya itu menambah kokohnya golongan orthodox.
Timbulnya gerakan reformasi ini pada hakekatnya bertujuan pada semacam kompromi antara rasionalisma (aqli) di satu pihak dan fundamentalisme (mutadaiyin) di lain pihak. Muhammad Abduh menganjurkan supaya umat Islam sekaligus berbareng menguasai ilmu dan teknik Barat, mencemplungkan diri dalam proses modernisasi dengan berpegang teguh fundamen-fundamen, asas-asas Islam serta memberikan perhatian yang lebih besar kepada Qur'an dan Sunnah.
Gerakan salaf (orthodox) masuk ke Indonesia bersamaan pulangnya Haji Miskin (1802) dari ibadah haji dan sementara bermukim, pulang ke Minangkabau. Orang-orang itulah terkenal dengan julukan "Harimau nan Salapan" yang dinamakan kaum Paderi, berpakaian serba putih, mereka mengadakan perombakan secara kekerasan radikal, sehingga terjadi peperangan antara mereka dengan pemerintah colonial Belanda.
Gerakan pembaruan ini berkembang pesar, kemudian menjalar ke Sumatra Barat, Jambi, Palembang, Sumatera Timur, Tapanuli, Bengkulu dan Lampung. Madrasah-madrasah modern mulai didirikan dan tumbuh bak cendawan di musim hujan, menambah semaraknya sinar agama Islam, terhadap perkembangan yang demikian, tak ada jalan lain lagi bagi pemerintah colonial Belanda melainkan hanya menyaksikan dengan kecemasan, dari sana akan timbul pemberontakan hebat untuk menghancurkan penjajah yang telah menjadi golongan vested interest.
Dengan cepatnya gerakan pembaruan itu membakari kemunduran-kemunduran Islam di seluruh bagian Nusantara. Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan di mana saja sinar Islam itu padam apinya, dinyalakan kembali oleh gerakan salaf itu.

Daftar Pustaka
Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang. Jakarta.
Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-tantangan yang dihadapi dari Masa ke Masa. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. 1985.

Harus Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Bulan Bintang. Jakarta. 1975.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999.

Menjadikan Tidur sebagai Ibadah


 Menjadikan Tidur sebagai Ibadah
Tidak ada aktivitas yang paling menyita waktu kecuali tidur. Umumnya sepertiga waktu manusia dihabiskan untuk tidur. Alokasinya lebih banyak dibanding waktu untuk bekerja, belajar, bermain, atau menjalankan ibadah ritual. Ada sebuah hitung-hitungan menarik dari Imam Al-Ghazali. "Andai seseorang tidur selama 8 jam sehari, maka dalam usia 60 tahun, ia telah tidur selama 20 tahun. Tinggal usianya 40 tahun digunakan antara beribadah, bermain, melakukan kesia-siaan, dan maksiat".
Tidur adalah tanda kebesaran sekaligus nikmat yang Allah SWT karuniakan pada manusia. Difirmankan, Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah tidur kamu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan (QS Ar-Ruum [30]: 23).
Ada banyak hikmah dari tidur. Dengan tidur kesehatan tubuh manusia terjaga. Dengan tidur pikiran manusia yang kusut bisa jernih kembali. Dengan tidur pula manusia bisa bermimpi. Dan mimpi adalah salah satu kebesaran Allah sekaligus tanda-tanda kenabian. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada yang tertinggal dari kenabian kecuali kabar baik. Dan kabar baik itu adalah mimpi yang baik" (HR Bukhari)
Karena itu, tidak mungkin ada manusia yang tidak pernah tidur. Semua pasti membutuhkan tidur, walau intensitasnya berbeda-beda. Bayi misalnya, saat baru dilahirkan membutuhkan tidur sekitar 14 sampai 16 jam, sebab tubuhnya sedang berkembang cepat sehingga mudah lelah. Setelah berusia enam bulan dia akan tidur selama 12 sampai 13 jam sehari. Orang dewasa biasanya tidur antara 7 sampai 8 jam sehari, atau kurang dari jumlah itu. Demikianlah, tidur adalah kebutuhan primer manusia. Sama halnya dengan kebutuhan manusia terhadap udara, air, makanan, atau pakaian.
Tidur dan kematian Tidur hakikatnya adalah kematian yang tertunda. Begitulah Alquran memberitakan. Dalam QS Az-Zumar [39] ayat 42 Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang yang belum mati) di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan kembali jiwa orang (yang tidur, menjadi hidup kembali ketika bangun) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mau berpikir."
Apa makna ayat ini? Allah SWT menempatkan nafs atau nyawa dalam wadah yang tidak kekal. Wadah tersebut bernama badan (jasmani). Bila wadah tersebut rusak, hingga menimbulkan kematian, maka Allah SWT akan memisahkan nafs tersebut dengan pemisahan yang sempurna. Dalam tidur pun terjadi pemisahan, tetapi pemisahannya tidak sempurna. Karena itu, nafs (nyawa) bagi yang tidur akan kembali pada wadah yang menampungnya. Sehingga ia dapat bangun kembali sampai tiba masa pemisahan yang sempurna saat kematiannya. Demikian komentar Dr Quraish Shihab tentang ayat tersebut.
Rasulullah SAW pun dalam beberapa hadisnya mempersamakan tidur dengan kematian. Ketika hendak tidur misalnya, beliau selalu berdoa, "Ya Allah dengan nama-Mu aku hidup dan mati" (HR Bukhari). Saat terjaga beliau pun membaca doa yang hampir serupa, "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami dibangkitan" (HR Bukhari dan Muslim).
Menjadikan tidur sebagai ibadah Tidur adalah kematian yang tertunda. Tidur menghabiskan sepertiga waktu hidup kita. Alangkah ruginya bila waktu yang melimpah tersebut kita sia-siakan begitu saja. Setidaknya ada dua hal yang layak kita lakukan. Pertama, meniatkan tidur sebagai ibadah. Niat adalah faktor fundamental dalam setiap gerak langkah seorang Muslim. Baik tidaknya sebuah amal sangat dipengaruhi lurus tidaknya niat yang di-azzam-kan dalam hati.
Ada sebuah hadis dari Umar bin Khathab: bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Semua amal perbuatan bergantung pada niat, dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya." (HR Bukhari). Tidur kita insya Allah akan bernilai ibadah apabila diniatkan sebagai ibadah dan sarana syukur. Sebaliknya, tidur bisa menjadi dosa bila diniatkan untuk maksiat. Tidur kita pun tidak akan bernilai apa-apa di hadapan Allah bila kita memaknainya sekadar aktivitas harian belaka.
Kedua, melakukan persiapan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ada sebuah riwayat dari Bara' bin Azib, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kamu mendatangi tempat pembaringanmu maka berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi kananmu kemudian ucapkanlah: 'Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan hidupku kepada-Mu, dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu, dan aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, dan aku perlindungkan punggungku kepada-Mu, dengan penuh harap dan takut kepada-Mu, tidak ada tempat keselamatan dan perlindungan dari-Mu kecuali kepada-Mu. Aku berlindung kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan nabi-Mu yang telah Engkau utus'.
Jika kamu mati malam itu, maka kamu berada di atas fitrah dan jadikanlah ia sebagai akhir dari apa yang kamu ucapkan." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah). Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menjelaskan adab-adab standar yang harus dilakukan seorang Muslim tatkala hendak tidur. Diawali dengan berwudhu (membersihkan diri dan hati dari segala kotoran dan dosa), kemudian berbaring di atas sisi kanan badan, lalu berzikir dan mengucapkan doa kepada Allah.
Hadis ini pun menyiratkan sebuah pesan tentang lemahnya manusia. Dan kelemahan tersebut makin terlihat saat ia tidur. Ia tidak sadar akan situasi di sekitarnya. Ia pun tidak lagi mampu menghindar dari bahaya sekecil apa pun. Sehingga ia wajib "menitipkan" penjagaan dirinya kepada Allah, Dzat yang menguasai hidup dan matinya.
Empat amalan sebelum tidur
Berkaitan dengan persiapan menjelang tidur. Rasulullah SAW pernah pula berwasiat kepada istrinya, Siti 'Aisyah. Rasul bersabda, "Wahai 'Aisyah, janganlah engkau tidur sebelum engkau lakukan empat hal: mengkhatamkan Alquran, memperoleh syafaat dari para nabi, membuat hati kaum Mukminin dan Mukminat senang dan ridha kepadamu, serta melakukan haji dan umrah."
'Aisyah bertanya, "Ya Rasul, bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sebelum tidur?" Rasulullah SAW menjawab, "Sebelum tidur, bacalah Qul huwallahu ahad tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatamkan Alquran". Yang dimaksud dengan Qul huwallahu ahad adalah seluruh surat Al-Ikhlas, bukan ayat pertamanya saja. Dalam banyak hadis, sering kali suatu surat disebut dengan ayat pertamanya.
Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, "Kemudian agar engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, bacalah shalawat: Allahumma shalli 'alƒ Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama shalayta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim. Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim fil 'alamina innaka hamidun majid." "Sebelum tidur, hendaknya kamu lakukan haji dan umrah." Bagaimana caranya? Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang membaca subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha ilallah huwallahu akbar, ia dinilai sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah".
Niat dan ikhtiar (berupa persiapan) bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak akan sempurna yang satu tanpa pelaksanaan yang lain. Akhirnya, semoga kita bisa mengamalkannya, sehingga tidur kita menjadi bagian dari pengabdian diri pada Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab.
Widodo, S.Pd.I
GPAI SDN GONILAN 01
KEC. KARTASURA