Yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam
tidak pernah memisahkan ekonomi dengan akhlaq, sebagaimana tidak pernah
memisahkan ilmu dengan akhlaq, politik dengan akhlaq, perang dengan akhlaq dan
aktivitas mu’amalah lainnya dengan akhlaq. Islam adalah
risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi akhlaq
manusia. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak mulia”.
Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme seperti
sekarang ini, perilaku ekonomi kaum muslimin telah terasingkan dari karakter
akhlaq yang mulia. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya
didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam
perilaku ekonomi mereka. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya
dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang
jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka
bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan
penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.
Kenyataannya moral memang bersifat universal. Pembeli akan
merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja
malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika
diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal
semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat
mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak
perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter
menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.
KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM
Dalam perbincangan tentang
akhlaq, seringkali kita mendengar beberapa kalangan membagi Islam ke dalam tiga
bagian yaitu: (1) aqidah, (2) syari’ah dan (3) akhlaq. Namun sebagian lagi
membagi Islam ke dalam dua bagian besar yaitu (1) aqidah dan (2) syari’ah, atau
dengan kata lain (1) aqidah dan (2) nizam.[1]
Bagaimana
sebenarnya kedudukan akhlaq dalam Islam? Islam mengatur dan menempatkan akhlaq
sebagai bagian dari hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya,
melalui hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak. Akhlaq
menjadi aturan tersendiri, seperti halnya ibadah dan mu'amalat. Dengan
demikian, akhlaq yang mulia akan senantiasa muncul menyertai pelaksanaan hukum
lainnya. Ketika seorang sholat, sifat khusyu’ akan menyertainya. Keadilan akan
menyertai sifat seorang hakim yang memberi keputusan dalam peradilan. Demikian
pula kejujuran akan menjadi sifat seorang muslim dalam bermu’amalah.
Akhlaq
dalam pandangan Islam bukanlah sekedar sifat baik, buruk atau moral semata.
Maka, tidak selamanya sifat baik menurut pandangan manusia disebut dengan akhlaq
mahmudah dan apabila bersifat buruk disebut dengan akhlaq mazmumah.
Namun, Islam telah mendudukkan akhlaq sebagai realisasi nilai-nilai tertentu
yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah, tidak curang, ataupun
dengki. Jadi akhlak hanya dapat dibentuk dengan satu cara, yaitu memenuhi
perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral, yaitu budi pekerti yang luhur
dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah satu sifat akhlak yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah diperhatikan nilai moral tersebut
tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang dinamakan dengan akhlak.[2]
Oleh karena itu, akhlaq didefinisikan sebagai sifat-sifat yang diperintahkan
oleh Allah kepada seseorang muslim agar dijadikan sebagai sifat ketika
melakukan perbuatan.[3]
Sifat-sifat
akhlaq tersebut muncul karena hasil perbuatan manusia. Seperti khusyu’
merupakan sifat yang diperintahkan dalam pelaksanaan shalat, sifat jujur dalam
berbagai mu’amalat (transaksi), adil dalam kekuasaan dan sebagainya.
Sebagai catatan, keseluruhan aktivitas tersebut tidak secara otomatis
menghasilkan nilai akhlak tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan
tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual beli. Tetapi sifat-sifat tersebut muncul
sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib
diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlak bagi seorang mukmin tatkala ia
beribadah kepada Allah SWT, dan tatkala ia bermu’amalat. Dengan
demikian, seorang mukmin dari tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai rohani
dari pelaksanaan sholat. Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan nilai
yang bersifat material dalam perdagangan sekaligus ia telah memiliki
sifat-sifat akhlak.
Kebaikan
ataupun keburukan dalam akhlaq tidak ditentukan oleh pandangan manusia tetapi
oleh syara’. Seandainya nilai akhlaq ditentukan oleh manusia, maka ia akan
berubah karena tempat dan waktu. Syara' telah menjelaskan sifat-sifat yang
dianggap sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak buruk, menganjurkan
kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk mempunyai sifat
jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi kepada
kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara sebagaimana mencintai
diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap sebagai dorongan untuk
mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang mempunyai sifat-sifat
yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti berdusta, khianat,
hasud (dengki), melakukan maksiat, dan semisalnya. Sifat-sifat tadi dan yang
semisalnya dianggap sebagai suatu larangan, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Allah
SWT telah menerangkan dalam berbagai surat Al Quraan tentang sifat-sifat yang
wajib dimiliki, serta yang wajib diupayakan oleh manusia. Sifat-sifat tersebut
menyangkut masalah-masalah aqidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Empat
sifat ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Allah SWT berfirman
dalam surat Luqman:
"(Dan) ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya, ketika ia memberikan pelajarannya:'Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah
benar-benar kezhaliman yang besar.
(Dan) Kami perintahkan kepada manusia (untuk
berbuat baik) kepada kedua ibu dan bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang terus bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang ibu dan bapakmu. Hanya kepada-Ku-lah
tempat kembalimu.
(Dan) jika keduanya memaksa kamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya.
(Dan) pergaulilah keduanya dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah
tempat kembalimu. Maka, (kelak akan) Kuberitakan kepadamu apa saja yang telah
kamu kerjakan.
(Luqman berkata:) 'Hai anakku, sesungguhnya
tidak ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau
di langit atau di dalam bumi, pastilah Allah akan mendatangkannya
(membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang
demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
(Dan) janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.
(Dan) sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
keledai." (QS. Luqman 13 - 19).
Seruan
Allah di atas merupakan satu kesatuan yang sempurna dengan menonjolkan
sifat-sifat yang beraneka ragam, menggambarkan identitas muslim, dan
menjelaskan kepribadian Islam yang pada hakekatnya berbeda dengan umat yang
lain. Yang menarik perhatian pada sifat-sifat tersebut, bahwa ia berupa
perintah-perintah dan larangan Allah.
Sebagian
merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah. Sebagian lainnya berkaitan
dengan ibadah, mu’amalat dan akhlak. Dapat diperhatikan pula, bahwa ia
tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi mencakup juga aqidah,
ibadah, mu’amalat disamping akhlak. Inilah sifat-sifat yang dapat
membentuk kepribadian Islam. Membatasi pengambilan hukum hanya pada akhlak,
berarti meniadakan terbentuknya manusia yang sempurna dan berkepribadian yang
islami. Untuk mencapai tujuan akhlak, maka hendaklah didasarkan atas
landasan/asas ruhani, yakni aqidah islamiyah dan sifat akhlak tersebut harus
berlandaskan aqidah semata. Oleh karena itu seorang muslim tidak akan memiliki
sifat jujur hanya semata-mata kejujuran saja. tetapi karena Allah memerintahkan
demikian; meskipun ia mempertimbangkan realisasi nilai akhlaknya tatkala ia
berlaku jujur. Dengan demikian akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena
diperlukan oleh manusia, akan tetapi ia merupakan perintah Allah.
Berdasarkan
hal ini, seorang muslim harus mempunyai akhlak dengan segala sifat-sifatnya dan
melakukannya dengan penuh ketaatan dan kepasrahan. Sebab, hal ini berhubungan
dengan taqwa kepada Allah SWT. Memang akhlak biasanya muncul sebagai hasil
ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT:
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar" (QS
Al-ankabut 45)
Wajib
pula dipelihara dalam pelaksanaan (transaksi-transaksi) mu’amalat
sebagaimana yang disinggung dalam atsar bahwa agama itu adalah mu’amalat
(berhubungan dengan masyarakat). Disamping itu, akhlak merupakan sekumpulan
perintah Allah dan larang-larangan-Nya. Oleh karena itu, akhlak pasti
mengokohkan diri setiap muslim dan menjadikannya sebagi suatu sifat yang lazim
(yang harus ada).
Berdasarkan
keterangan di atas, maka disatukannya akhlak dengan seluruh peraturan hidup
--disamping merupakan sifat-sifat yang bebas/berdiri sendiri-- juga akan
menjadi jaminan pembentukan pribadi setiap muslim (agar menyiapkan diri) dengan
cara yang layak, mengingat bahwa mempunyai sifat-sifat akhlak, merupakan
pemenuhan terhadap perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, bukan karena
akhlak ini membawa manfaat atau madlarat dalam kehidupan. Inilah yang
menjadikan seorang muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus
menerus dan konsisten, selama ia berusaha melaksanakan Islam, dan selama ia
tidak mengikuti/ memperhatikan aspek manfaat.
Akhlak
tidak ditujukan semata-mata demi kemanfaatan. Bahkan manfaat itu harus
dijauhkan. Sebab tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja, bukan
nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu nilai-nilai
itu tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak, agar tidak terjadi kebimbangan
dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu diingat di sini, bahwa
nilai materi harus dijauhkan dari akhlak dan dijauhkan pula dari pelaksanaan
akhlak yang hanya mencari kemanfaatan/keuntungan. Hal ini justru sangat
membahayakan akhlak.
AKHLAK MULIA DALAM EKONOMI ISLAM
Sebagai
gambaran bagaimana seharusnya akhlaq para pelaku ekonomi dalam menjalankan
mu’amalahnya, berikut disampaikan beberapa akhlaq mulia yang berkaitan dengan
aktivitas perekonomian.
Berbaik Hati dalam Bermu’amalah
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu
Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaibi wa Sallam bersabda, "Allah
menyayangi seseorang yang berbaik hati ketika berjualan, ketika membeli dan
ketika menagih hutang." Disebutkan dalam sebuah riwayat lain, "...
bila membayar hutang." (Diriwayatkan AI-Bukhary, At-Tirmidzy dan lbnu Majah).[4]
Dalam hadits
di atas Nabi mewajibkan sikap baik pada empat hal yaitu berjualan, membeli,
menagih hutang dan membayar hutang. Berbaik hati dalam berjualan adalah tidak
berlaku pelit dengan barang dagangannya, tidak memasang harga terlalu tinggi,
tidak terlalu berpikir pada keuntungan, tidak bertele-tele dalam tawar menawar,
tapi hendaklah menunjukkan jiwa yang mulia, menerima dengan keuntungan yang
sedikit, dan tidak banyak bicara. Berbaik hati dalam membeli berarti sederhana
dalam memberikan penilaian, tidak banyak membuang-buang waktu dalam hal-hal
yang sangat sepele, apalagi bila barang yang dibeli itu harganya tidak seberapa.
Posisi pembeli memang orang yang kaya, sebaliknya penjual butuh uang, tapi
hendaklah sikap pembeli tidak memuakkan si penjual dengan ketidakmenentuan
sikap dan menyita waktu bagi pembeli lain atau tujuan yang lain. Tidak terus
menerus menawar pada barang yang sudah diketahui cacatnya dengan harga yang
sangat rendah.
Berbaik hati
dalam menagih hutang artinya pada saat menuntut hak atas hutangnya,
melakukannya dengan lemah lembut. Hendaknya pemberi hutang melihat bagaimana
keadaan orang yang berhutang itu, apakah dalam kesusahan atau tidak. Bila ia
dalam kesusahan maka tunggulah, atau tundalah. Bahkan bila keadaanya sudah
tidak memungkinkannya untuk mengembalikan hutangnya maka sebaiknya disedekahkan
atau dihapuskan hutangnya.
"Dan jika (orang berhutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan, menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. " (QS AI-Baqarah: 280).
Berbaik hati
dalam menagih hutang berarti pula tidak mendesak orang yang berhutang di depan
mata dan telinga orang banyak. Karena, bila mereka yang tidak mengetahui
urusannya sampai tahu akan membuat penghutang menjadi malu. Hendaklah pula
penagih hutang tidak mengeraskan suara agar tidak membuat si penghutang merasa
risih. Tidak menagih dengan cara yang membosankan, atau menagih pada saat si
penghutang sedang menikmati waktu-waktu istirahatnya karena tagihan itu akan mengurangi kesenangannya meski di satu sisi ia harus segera memberikan
hak-haknya. Tidak perlu menyelesaikan masalah hutang itu di pengadilan bila
sesampainya waktu jatuh tempo pembayaran ia baru bisa menyanggupi untuk
melunasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan berbaik hati dalam
membayar hutang adalah mengembalikan hutang pada waktu yang telah ditentukan,
tidak mengulur-ngulur jangka waktu pengembaliannya dan mengucapkan rasa syukur
dan berdoa ketika dapat mengembalikannya, atau apapun yang dapat mencerminkan
sikap baik. Membayar hutang sebelum jatuh tempo adalah lebih baik daripada
menunggu hingga jatuh tempo padahal ia telah sanggup membayarnya.
Kejujuran
Kejujuran adalah buah dari
keimanan, sebagai ciri utama orang mukmin, bahkan ciri para Nabi. Tanpa
kejujuran, agama tidak akan tegak dan tidak akan stabil. Sebaliknya, kebohongan
dan kedustaan adalah bagian daripada sikap orang munafik.
Bencana terbesar akan melanda
jika para pelaku ekonomi melakukan dusta. Pedagang berbohong dalam
mempromosikan barang dan menetapkan harga di atas harga yang wajar. Sedangkan
pembeli melakukan kebohongan pada saat menawar harga. Demikian pentingnya
faktor kejujuran dalam perilaku ekonomi hingga Allah menempatkan kejujuran
sebagai karakter pedagang yang membawanya kepada derajat yang dangat tinggi di
hadapan AlIah.
"Pedagang yang benar dan terpercaya
bergabung dengan para nabi, orang-orang benar
(shiddiqin), dan para syuhada.”
Kejujuran dalam berbagai segi
akan mendatangkan berkah bagi penjual maupun pembeli.
"Penjual dan pembeli bebas memilih
selama belum putus transaksi. Jlka keduanya
bersikap benar dan mau menjelaskan kekurangan barang
yang diperdagangkan maka keduanya mendapatkan berkah
dari jual-belinya. Namun, jika keduanya saling menutupi
aib barang dagangan itu dan berbohong, maka
jika mereka mendapat laba, hilanglah berkah jual-beli
itu." (HR Tirmidzi)
Dusta dalam berdagang sangat
dikecam, terlebih jika diiringi sumpah atas nama Allah. Inilah sumpah palsu dan
tercela yang pengucapnya berdosa dan kelak masuk neraka. Menurut syariah,
banyak bersumpah dalam berdagang adalah makruh karena perbuatan ini mengandung
unsur merendahkan nama Allah, juga dikhawatirkan bisa menjerumuskan seseorang
ke dalam dusta. Lalu, bagaimana pula jika sumpahnya sejak awal memang sebuah
kebohongan?
"Empat tipe manusia yang dimurkai
Allah: penjual yang suka bersumpah, orang
miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan imam yang
zalim.” (HR Nasai’i dan Ibnu Hibban dalam shahihnya).
Seseorang yang mudah bersupah
atas nama Allah dengan maksud melariskan barang dagangannya adalah orang yang
telah merendahkan nama Allah. Inilah bencana yang diderita oleh pedagang di
dunia. Mereka disibukkan oleh laba yang kecil yaitu materi daripada laba yang
besar yaitu keberkahan dan keridhaan Allah. Mereka terpaku pada keberuntungan
yang fana daripada keberuntungan yang kekal.
Inilah yang dikatakan oleh
Nabi ketika beliau keluar rumah dan melihat komunitas manusia sedang berjual
beli. Beliau berseru, '"Wahai, para pedagang!" Pandangan
segenap pedagang pun segera terarah kepada beliau. Nabi melanjutkan, "Sesungguhnya
para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka kecuali orang
yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik, dan jujur.” (HR Tirmidzi, hadits
hasan shahih)
Hadits lain berbunyi, "Sesungguhnya
para pedagang itu adalah pendurhaka." Mereka berkata, "Ya,
Rasulullah! Bukankah dihalalkan berjual beli?" Nabi menjawab, "Benar,
tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa dan terlalu
banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong."
(HR Ahmad dan Abdurrahman, al-Muntaqa : 1005).
Pada zaman
sekarang, untuk mempromosikan komoditi dagangannya, orang menggunakan sarana
iklan. Banyak sekali iklan yang sebenarnya tidak sesuai dengan fakta barang
yang diiklankan. Kenyataan membuktikan, pengaruh iklan sangat besar dalam
mempengaruhi perilaku konsumen. Konsumen banyak dikelabui oleh iklan yang memikat,
baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan, lisan, maupun gambar. Gencarnya
promosi melalui iklan mengakibatkan seseorang membeli barang yang sebenarnya
sama sekali tidak dibutuhkannya. Bahkan, karena pengaruh iklan
yang begitu kuat, meski tidak sanggup membelinya, mereka terkadang berani
berhutang.
Di dalam atsar (sunnah),
disebutkan bahwa ciri pedagang yang lurus adalah: "Mereka adalah
orang-orang yang jika menjual tidak memuji barang dagangannya dan jika membeli
tidak mencela barang beliannya." Bandingkanlah ciri ini dengan
kebiasaan orang-orang yang sering memuji-muji barang dagangannya lewat iklan
dan promosi.
Jujur Dalam Menunjukkan Cacat
Selain benar dan memegang
amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang
lain mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan sebagaimana ia menginginkannya dengan
cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak terlihat
oleh pembeli. Nabi menjadikan kejujuran sebagai hakikat agama.
"Agama
itu kesetiaan terhadap Allah, Rasu/, Kitab, pemimpin-pemimpin muslimin, dan rakyat.” (HR Muslim dari Tamim
Addarani).
Diriwayatkan dari Uqbah : "Muslim
itu adalah saudara muslim. Tidak boleh
bagi seorang muslim, apabila ia berdagang dengan
saudaranya dan menemukan cacat, kecuall diterangkannya."
(HR Thabrani dan Ahmad)
Abu Siba' mengisahkan:
"Saya membeli unta dari rumah Watsilah ibnul Asqa. Ketika keluar dari
rumahnya, dia mengejar saya dengan menyeret sarungnya dan bertanya, "Sudah
kamu beli?" Jawabku, "Sudah." Katanya, "Saya akan menerangkan
cacat unta ini." Kataku, "Apa cacatnya? Bukankah unta ini gemuk dan
terlihat sehat?" la bertanya, "Kamu ingin unta ini untuk dikendarai
atau dimakan dagingnya?" Kataku, "Untuk pergi haji dengan mengendarai
unta ini." Katanya, "Kembalikan saja unta itu." Si pemilik dan
penjual unta berkata: "Apa yang kamu kehendaki, semoga Allah meluruskan
kamu, apakah kamu ingin menggagalkan penjualan saya?" Watsilah berkata
"Saya mendengar Rasulullah bersabda, Tidak boleh seseorang menjual sesuatu
kecuali ia menerangkan apa yang ada dalam barang itu dan orang yang mengetahui
cacat barang itu harus memberitahukan hal itu. (HR Muslim dan Tirmidzi dan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah, al-Muntaqa: 990)
Lawan sifat jujur adalah
menipu (curang), yaitu menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan
cacatnya. Masyarakat umum sering tertipu oleh perlakuan para pedagang seperti
ini. Mereka mengira suatu barang itu baik kualitasnya, namun ternyata
sebaliknya. Sifat menipu ini sangat dikecam oleh Nabi.
"Barang siapa menipu (curang),
bukanlah dari golongan kami."
Ketika Nabi melewati pedagang
makanan, beliau memasukkan tangan ke dalam makanan kering yang dijual oleh
seseorang. Ternyata, di antara makanan kering itu, terdapat makanan yang basah.
Beliau bertanya, "Apakah ini, wahai penjual makanan?" la
berkata, "Makanan basah yang terkena hujan." Kata Nabi, "Mengapa
tidak kamu letakkan di atas agar terlihat oleh orang? Barang siapa yang menipu
maka ia bukan dari golongan kami."
Perkataan "bukan dari
golongan kami" menunjukkan bahwa menipu (curang) adalah dosa besar.
Jika ia termasuk dosa kecil, ia bisa dihapuskan dengan shalat lima waktu.
Hadits ini mencakup seluruh sifat curang, seperti curang dalam sewa-menyewa,
dalam menjalin kerja sama, dan dalam berdagang. Salah satu sikap curang adalah
"melipatgandakan harga" terhadap orang yang tidak mengetahui harga
pasaran. Pedagang mengelabui pembeli dengan menetapkan harga di atas harga
pasaran. Sebaliknya, kalau membeli, ia berusaha mendapatkan harga di bawah
standar. Tindak penipuan ini bisa juga dilakukan oleh orang yang menjalankan
usaha sewa-menyewa barang, berdagang mata uang, atau bekerja dengan sistem bagi
hasil. Pihak yang tidak mengetahui, dikelabui karena kebodohannya.
Menurut salafus-saleh,
memberitahukan cacat barang yang dijual kepada calon pembeli perlu dilakukan
karena hal itu merupakan kejujuran. Misalnya, jika menjual barang, Jarir bin
Abdullah memperlihatkan cacat barang itu kepada calon pembeli lalu berkata,
"Jika kamu mau, ambillah, dan jika tidak, tinggalkan." Seorang
pembeli berkomentar, "Jika kamu berbuat begini, niscaya tidak seorang pun
membeli barang daganganmu." Jabir berkata, "Saya telah berbaiat
kepada Rasulullah untuk berlaku jujur kepada setiap muslim."
Imam Al Ghazali mengomentari
peristiwa ini sebagai berikut, "Mereka telah memahami arti kejujuran,
yaitu tidak rela terhadap apa yang menimpa temannya kecuali yang ia rela jika
hal itu menimpa dirinya sendiri. Mereka tidak memandang hal ini sebagai
kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Mereka berkeyakinan bahwa kejujuran adalah
syarat Islam yang mereka berikan dan yang termasuk dalam baiat mereka. Karena
hal ini sulit dilaksanakan oleh sebagian besar makhiuk, maka mereka memilih
untuk mengisolasi diri dari manusia dan menyendiri untuk beribadah.
Sesungguhnya, melaksanakan hak-hak Allah dengan bermuamalat dengan manusia
adalah suatu mujahadah yang tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh orang-orang
yang benar (lurus)."'
Menepati
Amanat (Tanggung Jawab)
Menepati amanat merupakan akhlaq yang mulia. Allah
menggambarkan orang mukmin yang beruntung. Allah tidak suka orang-orang yang
berkhianat dan tak merestui tipu dayanya.
"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya dan
janjinya)." (QS al-Mukmin : 8)
Dalam hadits sahihain, Nabi bersabda, "Tiga golongan yang termasuk
munafik meski ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara ia
berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia berkhianat."
Maksud amanat adalah
mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi
haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya."' (QS an-Nisa’ : 58)
Dalam berdagang, dikenal
istilah "menjual dengan amanat" seperti "menjual murabahah".
Maksudnya, penjual menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangan
kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Amanat bertambah penting pada saat
seseorang membentuk serikat dagang, melakukan bagi hasil (mudharabah), atau
wakalah (menitipkan barang untuk menjalankan proyek yang telah disepakati
bersama). Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi
kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi
kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.
"Aku
adalah yang kedua dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari
keduanya tidak mengkhianati temannya. Apabila salah satu dari keduanya
berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (Hadits Qudsi). Ditambahkan oleh
Razin: " ... dan datanglah setan."
[1] Al-Islam: aqidatan Wa Syari’atan, Prof. Dr. Mahmud Syaltut hlm. 11;
Nizam Al Islam, As-Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, hlm. 68.
[2] Lihat Mafahim Syari’ah Lembaga Dakwah Kampus
[3] Lihat Islam : Politik dan Spiritual, Hafidz Abdurrahman, hlm. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih