SELAMAT DATANG

Selamat Datang di http://widodoalgani.blogspot.com
Semoga Bermanfaat.
Mohon tinggalkan komentar.

Selasa, 01 November 2011

NILAI AKHLAK dalam Sistem Ekonomi Islam

NILAI AKHLAK dalam Sistem Ekonomi Islam


Yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan akhlaq, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlaq, politik dengan akhlaq, perang dengan akhlaq dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan akhlaq. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi akhlaq manusia. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme seperti sekarang ini, perilaku ekonomi kaum muslimin telah terasingkan dari karakter akhlaq yang mulia. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi mereka. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.
Kenyataannya moral memang bersifat universal. Pembeli akan merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.

KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM
Dalam perbincangan tentang akhlaq, seringkali kita mendengar beberapa kalangan membagi Islam ke dalam tiga bagian yaitu: (1) aqidah, (2) syari’ah dan (3) akhlaq. Namun sebagian lagi membagi Islam ke dalam dua bagian besar yaitu (1) aqidah dan (2) syari’ah, atau dengan kata lain (1) aqidah dan (2) nizam.[1]
Bagaimana sebenarnya kedudukan akhlaq dalam Islam? Islam mengatur dan menempatkan akhlaq sebagai bagian dari hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, melalui hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak. Akhlaq menjadi aturan tersendiri, seperti halnya ibadah dan mu'amalat. Dengan demikian, akhlaq yang mulia akan senantiasa muncul menyertai pelaksanaan hukum lainnya. Ketika seorang sholat, sifat khusyu’ akan menyertainya. Keadilan akan menyertai sifat seorang hakim yang memberi keputusan dalam peradilan. Demikian pula kejujuran akan menjadi sifat seorang muslim dalam bermu’amalah.
Akhlaq dalam pandangan Islam bukanlah sekedar sifat baik, buruk atau moral semata. Maka, tidak selamanya sifat baik menurut pandangan manusia disebut dengan akhlaq mahmudah dan apabila bersifat buruk disebut dengan akhlaq mazmumah. Namun, Islam telah mendudukkan akhlaq sebagai realisasi nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah, tidak curang, ataupun dengki. Jadi akhlak hanya dapat dibentuk dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral, yaitu budi pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah satu sifat akhlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah diperhatikan nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang dinamakan dengan akhlak.[2] Oleh karena itu, akhlaq didefinisikan sebagai sifat-sifat yang diperintahkan oleh Allah kepada seseorang muslim agar dijadikan sebagai sifat ketika melakukan perbuatan.[3]
Sifat-sifat akhlaq tersebut muncul karena hasil perbuatan manusia. Seperti khusyu’ merupakan sifat yang diperintahkan dalam pelaksanaan shalat, sifat jujur dalam berbagai mu’amalat (transaksi), adil dalam kekuasaan dan sebagainya. Sebagai catatan, keseluruhan aktivitas tersebut tidak secara otomatis menghasilkan nilai akhlak tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual beli. Tetapi sifat-sifat tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlak bagi seorang mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT, dan tatkala ia bermu’amalat. Dengan demikian, seorang mukmin dari tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai rohani dari pelaksanaan sholat. Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan nilai yang bersifat material dalam perdagangan sekaligus ia telah memiliki sifat-sifat akhlak.
Kebaikan ataupun keburukan dalam akhlaq tidak ditentukan oleh pandangan manusia tetapi oleh syara’. Seandainya nilai akhlaq ditentukan oleh manusia, maka ia akan berubah karena tempat dan waktu. Syara' telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak buruk, menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk mempunyai sifat jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi kepada kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara sebagaimana mencintai diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap sebagai dorongan untuk mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang mempunyai sifat-sifat yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti berdusta, khianat, hasud (dengki), melakukan maksiat, dan semisalnya. Sifat-sifat tadi dan yang semisalnya dianggap sebagai suatu larangan, yang telah ditetapkan Allah SWT.
Allah SWT telah menerangkan dalam berbagai surat Al Quraan tentang sifat-sifat yang wajib dimiliki, serta yang wajib diupayakan oleh manusia. Sifat-sifat tersebut menyangkut masalah-masalah aqidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Empat sifat ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Allah SWT berfirman dalam surat Luqman:
"(Dan) ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberikan pelajarannya:'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
(Dan) Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua ibu dan bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang terus bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang ibu dan bapakmu. Hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu.
(Dan) jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.
(Dan) pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembalimu. Maka, (kelak akan) Kuberitakan kepadamu apa saja yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata:) 'Hai anakku, sesungguhnya tidak ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, pastilah Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
(Dan) janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(Dan) sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS. Luqman 13 - 19).
Seruan Allah di atas merupakan satu kesatuan yang sempurna dengan menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam, menggambarkan identitas muslim, dan menjelaskan kepribadian Islam yang pada hakekatnya berbeda dengan umat yang lain. Yang menarik perhatian pada sifat-sifat tersebut, bahwa ia berupa perintah-perintah dan larangan Allah.
Sebagian merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah. Sebagian lainnya berkaitan dengan ibadah, mu’amalat dan akhlak. Dapat diperhatikan pula, bahwa ia tidak terbatas hanya pada sifat-sifat akhlak, tapi mencakup juga aqidah, ibadah, mu’amalat disamping akhlak. Inilah sifat-sifat yang dapat membentuk kepribadian Islam. Membatasi pengambilan hukum hanya pada akhlak, berarti meniadakan terbentuknya manusia yang sempurna dan berkepribadian yang islami. Untuk mencapai tujuan akhlak, maka hendaklah didasarkan atas landasan/asas ruhani, yakni aqidah islamiyah dan sifat akhlak tersebut harus berlandaskan aqidah semata. Oleh karena itu seorang muslim tidak akan memiliki sifat jujur hanya semata-mata kejujuran saja. tetapi karena Allah memerintahkan demikian; meskipun ia mempertimbangkan realisasi nilai akhlaknya tatkala ia berlaku jujur. Dengan demikian akhlak tidak semata-mata wajib dimiliki karena diperlukan oleh manusia, akan tetapi ia merupakan perintah Allah.
Berdasarkan hal ini, seorang muslim harus mempunyai akhlak dengan segala sifat-sifatnya dan melakukannya dengan penuh ketaatan dan kepasrahan. Sebab, hal ini berhubungan dengan taqwa kepada Allah SWT. Memang akhlak biasanya muncul sebagai hasil ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT:
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar" (QS Al-ankabut 45)
Wajib pula dipelihara dalam pelaksanaan (transaksi-transaksi) mu’amalat sebagaimana yang disinggung dalam atsar bahwa agama itu adalah mu’amalat (berhubungan dengan masyarakat). Disamping itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah Allah dan larang-larangan-Nya. Oleh karena itu, akhlak pasti mengokohkan diri setiap muslim dan menjadikannya sebagi suatu sifat yang lazim (yang harus ada).
Berdasarkan keterangan di atas, maka disatukannya akhlak dengan seluruh peraturan hidup --disamping merupakan sifat-sifat yang bebas/berdiri sendiri-- juga akan menjadi jaminan pembentukan pribadi setiap muslim (agar menyiapkan diri) dengan cara yang layak, mengingat bahwa mempunyai sifat-sifat akhlak, merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, bukan karena akhlak ini membawa manfaat atau madlarat dalam kehidupan. Inilah yang menjadikan seorang muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara terus menerus dan konsisten, selama ia berusaha melaksanakan Islam, dan selama ia tidak mengikuti/ memperhatikan aspek manfaat.
Akhlak tidak ditujukan semata-mata demi kemanfaatan. Bahkan manfaat itu harus dijauhkan. Sebab tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu nilai-nilai itu tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak, agar tidak terjadi kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu diingat di sini, bahwa nilai materi harus dijauhkan dari akhlak dan dijauhkan pula dari pelaksanaan akhlak yang hanya mencari kemanfaatan/keuntungan. Hal ini justru sangat membahayakan akhlak.           

AKHLAK MULIA DALAM EKONOMI ISLAM

Sebagai gambaran bagaimana seharusnya akhlaq para pelaku ekonomi dalam menjalankan mu’amalahnya, berikut disampaikan beberapa akhlaq mulia yang berkaitan dengan aktivitas perekonomian.

Berbaik Hati dalam Bermu’amalah

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaibi wa Sallam bersabda, "Allah menyayangi seseorang yang berbaik hati ketika berjualan, ketika membeli dan ketika menagih hutang." Disebutkan dalam sebuah riwayat lain, "... bila membayar hutang." (Diriwayatkan AI-Bukhary, At-Tirmidzy dan lbnu Majah).[4]
Dalam hadits di atas Nabi mewajibkan sikap baik pada empat hal yaitu berjualan, membeli, menagih hutang dan membayar hutang. Berbaik hati dalam berjualan adalah tidak berlaku pelit dengan barang dagangannya, tidak memasang harga terlalu tinggi, tidak terlalu berpikir pada keuntungan, tidak bertele-tele dalam tawar menawar, tapi hendaklah menunjukkan jiwa yang mulia, menerima dengan keuntungan yang sedikit, dan tidak banyak bicara. Berbaik hati dalam membeli berarti sederhana dalam memberikan penilaian, tidak banyak membuang-buang waktu dalam hal-hal yang sangat sepele, apalagi bila barang yang dibeli itu harganya tidak seberapa. Posisi pembeli memang orang yang kaya, sebaliknya penjual butuh uang, tapi hendaklah sikap pembeli tidak memuakkan si penjual dengan ketidakmenentuan sikap dan menyita waktu bagi pembeli lain atau tujuan yang lain. Tidak terus menerus menawar pada barang yang sudah diketahui cacatnya dengan harga yang sangat rendah.
Berbaik hati dalam menagih hutang artinya pada saat menuntut hak atas hutangnya, melakukannya dengan lemah lembut. Hendaknya pemberi hutang melihat bagaimana keadaan orang yang berhutang itu, apakah dalam kesusahan atau tidak. Bila ia dalam kesusahan maka tunggulah, atau tundalah. Bahkan bila keadaanya sudah tidak memungkinkannya untuk mengembalikan hutangnya maka sebaiknya disedekahkan atau dihapuskan hutangnya.
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan, menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. " (QS AI-Baqarah: 280).
Berbaik hati dalam menagih hutang berarti pula tidak mendesak orang yang berhutang di depan mata dan telinga orang banyak. Karena, bila mereka yang tidak mengetahui urusannya sampai tahu akan membuat penghutang menjadi malu. Hendaklah pula penagih hutang tidak mengeraskan suara agar tidak membuat si penghutang merasa risih. Tidak menagih dengan cara yang membosankan, atau menagih pada saat si penghutang sedang menikmati waktu-waktu istirahatnya karena tagihan itu akan mengurangi kesenangannya meski di satu sisi ia harus segera memberikan hak-haknya. Tidak perlu menyelesaikan masalah hutang itu di pengadilan bila sesampainya waktu jatuh tempo pembayaran ia baru bisa menyanggupi untuk melunasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan berbaik hati dalam membayar hutang adalah mengembalikan hutang pada waktu yang telah ditentukan, tidak mengulur-ngulur jangka waktu pengembaliannya dan mengucapkan rasa syukur dan berdoa ketika dapat mengembalikannya, atau apapun yang dapat mencerminkan sikap baik. Membayar hutang sebelum jatuh tempo adalah lebih baik daripada menunggu hingga jatuh tempo padahal ia telah sanggup membayarnya.

Kejujuran
Kejujuran adalah buah dari keimanan, sebagai ciri utama orang mukmin, bahkan ciri para Nabi. Tanpa kejujuran, agama tidak akan tegak dan tidak akan stabil. Sebaliknya, kebohongan dan kedustaan adalah bagian daripada sikap orang munafik.
Bencana terbesar akan melanda jika para pelaku ekonomi melakukan dusta. Pedagang berbohong dalam mempromosikan barang dan menetapkan harga di atas harga yang wajar. Sedangkan pembeli melakukan kebohongan pada saat menawar harga. Demikian pentingnya faktor kejujuran dalam perilaku ekonomi hingga Allah menempatkan kejujuran sebagai karakter pedagang yang membawanya kepada derajat yang dangat tinggi di hadapan AlIah.
"Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para nabi, orang-orang benar (shiddiqin), dan para syuhada.”
Kejujuran dalam berbagai segi akan mendatangkan berkah bagi penjual maupun pembeli.
"Penjual dan pembeli bebas memilih selama belum putus transaksi. Jlka keduanya bersikap benar dan mau menjelaskan kekurangan barang yang diperdagangkan maka keduanya mendapatkan berkah dari jual-belinya. Namun, jika keduanya saling menutupi aib barang dagangan itu dan berbohong, maka jika mereka mendapat laba, hilanglah berkah jual-beli itu." (HR Tirmidzi)
Dusta dalam berdagang sangat dikecam, terlebih jika diiringi sumpah atas nama Allah. Inilah sumpah palsu dan tercela yang pengucapnya berdosa dan kelak masuk neraka. Menurut syariah, banyak bersumpah dalam berdagang adalah makruh karena perbuatan ini mengandung unsur merendahkan nama Allah, juga dikhawatirkan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam dusta. Lalu, bagaimana pula jika sumpahnya sejak awal memang sebuah kebohongan?
"Empat tipe manusia yang dimurkai Allah: penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan imam yang zalim.” (HR Nasai’i dan Ibnu Hibban dalam shahihnya).
Seseorang yang mudah bersupah atas nama Allah dengan maksud melariskan barang dagangannya adalah orang yang telah merendahkan nama Allah. Inilah bencana yang diderita oleh pedagang di dunia. Mereka disibukkan oleh laba yang kecil yaitu materi daripada laba yang besar yaitu keberkahan dan keridhaan Allah. Mereka terpaku pada keberuntungan yang fana daripada keberuntungan yang kekal.
Inilah yang dikatakan oleh Nabi ketika beliau keluar rumah dan melihat komunitas manusia sedang berjual beli. Beliau berseru, '"Wahai, para pedagang!" Pandangan segenap pedagang pun segera terarah kepada beliau. Nabi melanjutkan, "Sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik, dan jujur.” (HR Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Hadits lain berbunyi, "Sesungguhnya para pedagang itu adalah pendurhaka." Mereka berkata, "Ya, Rasulullah! Bukankah dihalalkan berjual beli?" Nabi menjawab, "Benar, tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa dan terlalu banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong." (HR Ahmad dan Abdurrahman, al-Muntaqa : 1005).
Pada zaman sekarang, untuk mempromosikan komoditi dagangannya, orang menggunakan sarana iklan. Banyak sekali iklan yang sebenarnya tidak sesuai dengan fakta barang yang diiklankan. Kenyataan membuktikan, pengaruh iklan sangat besar dalam mempengaruhi perilaku konsumen. Konsumen banyak dikelabui oleh iklan yang memikat, baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan, lisan, maupun gambar. Gencarnya promosi melalui iklan mengakibatkan seseorang membeli barang yang sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkannya. Bahkan, karena pengaruh iklan yang begitu kuat, meski tidak sanggup membelinya, mereka terkadang berani berhutang.
Di dalam atsar (sunnah), disebutkan bahwa ciri pedagang yang lurus adalah: "Mereka adalah orang-orang yang jika menjual tidak memuji barang dagangannya dan jika membeli tidak mencela barang beliannya." Bandingkanlah ciri ini dengan kebiasaan orang-orang yang sering memuji-muji barang dagangannya lewat iklan dan promosi.

Jujur Dalam Menunjukkan Cacat

Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli. Nabi menjadikan kejujuran sebagai hakikat agama.
"Agama itu kesetiaan terhadap Allah, Rasu/, Kitab, pemimpin-pemimpin muslimin, dan rakyat.” (HR Muslim dari Tamim Addarani).
Diriwayatkan dari Uqbah : "Muslim itu adalah saudara muslim. Tidak boleh bagi seorang muslim, apabila ia berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuall diterangkannya." (HR Thabrani dan Ahmad)
Abu Siba' mengisahkan: "Saya membeli unta dari rumah Watsilah ibnul Asqa. Ketika keluar dari rumahnya, dia mengejar saya dengan menyeret sarungnya dan bertanya, "Sudah kamu beli?" Jawabku, "Sudah." Katanya, "Saya akan menerangkan cacat unta ini." Kataku, "Apa cacatnya? Bukankah unta ini gemuk dan terlihat sehat?" la bertanya, "Kamu ingin unta ini untuk dikendarai atau dimakan dagingnya?" Kataku, "Untuk pergi haji dengan mengendarai unta ini." Katanya, "Kembalikan saja unta itu." Si pemilik dan penjual unta berkata: "Apa yang kamu kehendaki, semoga Allah meluruskan kamu, apakah kamu ingin menggagalkan penjualan saya?" Watsilah berkata "Saya mendengar Rasulullah bersabda, Tidak boleh seseorang menjual sesuatu kecuali ia menerangkan apa yang ada dalam barang itu dan orang yang mengetahui cacat barang itu harus memberitahukan hal itu. (HR Muslim dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, al-Muntaqa: 990)
Lawan sifat jujur adalah menipu (curang), yaitu menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya. Masyarakat umum sering tertipu oleh perlakuan para pedagang seperti ini. Mereka mengira suatu barang itu baik kualitasnya, namun ternyata sebaliknya. Sifat menipu ini sangat dikecam oleh Nabi.
"Barang siapa menipu (curang), bukanlah dari golongan kami."
Ketika Nabi melewati pedagang makanan, beliau memasukkan tangan ke dalam makanan kering yang dijual oleh seseorang. Ternyata, di antara makanan kering itu, terdapat makanan yang basah. Beliau bertanya, "Apakah ini, wahai penjual makanan?" la berkata, "Makanan basah yang terkena hujan." Kata Nabi, "Mengapa tidak kamu letakkan di atas agar terlihat oleh orang? Barang siapa yang menipu maka ia bukan dari golongan kami."
Perkataan "bukan dari golongan kami" menunjukkan bahwa menipu (curang) adalah dosa besar. Jika ia termasuk dosa kecil, ia bisa dihapuskan dengan shalat lima waktu. Hadits ini mencakup seluruh sifat curang, seperti curang dalam sewa-menyewa, dalam menjalin kerja sama, dan dalam berdagang. Salah satu sikap curang adalah "melipatgandakan harga" terhadap orang yang tidak mengetahui harga pasaran. Pedagang mengelabui pembeli dengan menetapkan harga di atas harga pasaran. Sebaliknya, kalau membeli, ia berusaha mendapatkan harga di bawah standar. Tindak penipuan ini bisa juga dilakukan oleh orang yang menjalankan usaha sewa-menyewa barang, berdagang mata uang, atau bekerja dengan sistem bagi hasil. Pihak yang tidak mengetahui, dikelabui karena kebodohannya.
Menurut salafus-saleh, memberitahukan cacat barang yang dijual kepada calon pembeli perlu dilakukan karena hal itu merupakan kejujuran. Misalnya, jika menjual barang, Jarir bin Abdullah memperlihatkan cacat barang itu kepada calon pembeli lalu berkata, "Jika kamu mau, ambillah, dan jika tidak, tinggalkan." Seorang pembeli berkomentar, "Jika kamu berbuat begini, niscaya tidak seorang pun membeli barang daganganmu." Jabir berkata, "Saya telah berbaiat kepada Rasulullah untuk berlaku jujur kepada setiap muslim."
Imam Al Ghazali mengomentari peristiwa ini sebagai berikut, "Mereka telah memahami arti kejujuran, yaitu tidak rela terhadap apa yang menimpa temannya kecuali yang ia rela jika hal itu menimpa dirinya sendiri. Mereka tidak memandang hal ini sebagai kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Mereka berkeyakinan bahwa kejujuran adalah syarat Islam yang mereka berikan dan yang termasuk dalam baiat mereka. Karena hal ini sulit dilaksanakan oleh sebagian besar makhiuk, maka mereka memilih untuk mengisolasi diri dari manusia dan menyendiri untuk beribadah. Sesungguhnya, melaksanakan hak-hak Allah dengan bermuamalat dengan manusia adalah suatu mujahadah yang tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh orang-orang yang benar (lurus)."'

Menepati Amanat (Tanggung Jawab)
Menepati amanat merupakan akhlaq yang mulia. Allah menggambarkan orang mukmin yang beruntung. Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tak merestui tipu dayanya.
"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya dan janjinya)." (QS al-Mukmin : 8)
Dalam hadits sahihain, Nabi bersabda, "Tiga golongan yang termasuk munafik meski ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia berkhianat."
Maksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya."' (QS an-Nisa’ : 58)
Dalam berdagang, dikenal istilah "menjual dengan amanat" seperti "menjual murabahah". Maksudnya, penjual menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangan kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Amanat bertambah penting pada saat seseorang membentuk serikat dagang, melakukan bagi hasil (mudharabah), atau wakalah (menitipkan barang untuk menjalankan proyek yang telah disepakati bersama). Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.
"Aku adalah yang kedua dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya. Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (Hadits Qudsi). Ditambahkan oleh Razin: " ... dan datanglah setan."


[1] Al-Islam: aqidatan Wa Syari’atan, Prof. Dr. Mahmud Syaltut hlm. 11; Nizam Al Islam, As-Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, hlm. 68.
[2] Lihat Mafahim Syari’ah Lembaga Dakwah Kampus
[3] Lihat Islam : Politik dan Spiritual, Hafidz Abdurrahman, hlm. 26.
[4] Lihat Adabun Nabi, Abdul Qadir Ahmad Atha, hlm. 36


Klik aku di sini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih