SELAMAT DATANG

Selamat Datang di http://widodoalgani.blogspot.com
Semoga Bermanfaat.
Mohon tinggalkan komentar.

Jumat, 16 September 2011

MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDA



MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDA
(Kajian Pemikiran Keduanya di Indonesia)


A.     Pendahuluan
Periode modern dalam sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke 20 M dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dann diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid'ah, khurafat dan takhayul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka, karena itu mereka berusaha bangkit dengan Mencontoh Barat dalam masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.

B.     Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh, lahir pada tahun 1265 H bertepatan dengan tahun 1848 M di sebuah desa di Propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dan nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Ia lahir dalam lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr. Situasi politik yang tidak stabil menyebabkan orang tuanya menyingkir ke desa kelahirannya dan kembali ke Mahallat Nashr setelah situasi politik mengizinkan. Di kota itulah ia tumbuh menjadi remaja dengan kegemaran yang umumnya digemari oleh remaja di masanya.
Masa pendikannya dimulai dengan pelajaran dasar membaca dan menulis yang didapatinya dari orang tuanya sendiri. Kemudian sebagai pelajaran lanjutan ia belajar Qur’an pada seorang hafizh. Hanya dalam waktu dua tahun, ia telah menjadi seorang hafidh yang mampu menghafal seluruh isi qur’an. Muhammad Abduh sebagai seorang yang kritis merasakan tidak efektifnya metode hafalan tanpa pengertian, ia berpendapat lebih baik tidak belajar daripada menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahwu dan fikih yang sama sekali tidak dipahaminya. Pendapatnya yang demikian terbukti dengan kembalinya ia ke Mahallat Nashr, hidup sebagai petani, dan kemudian ia kawin dalam usia 16 tahun.
Pada akhir tahun 1286 H ia kembali ke Thanta, akan tetapi enam bulan kemudian ia kembali meninggalkan Thanta dan kali ini ia menuju al-Azhar,  setelah ia beroleh ilham bahwa al-Azhar adalah tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya
Tahun 1871 merupakan tahun yang mempunyai arti penting bagi perjalanan karirnya. Di tahun itulah ia bertemu dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir pada tahun itu. Dari Jamaluddin ia mendapatkan ilmu pengetahuan, antara lain falsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti, meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar al-Azhar. Pada tahun 1877 ia berhasil menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar ‘alim dan berhak mengajar di universitas tersebut.
Ia pernah menjadi hakim di luar kota Kairo, tepatnya di kota Benha dan kemudian sebagai penasihat pada Mahkamah Tinggi di Kairo.
Perjalanan karir Muhammad Abduh yang diuraikan di atas menggambarkan kekayaan pengalaman yang dimiliknya. Ia tidak hanya mendapatkannya di negeri Mesir, tetapi juga di luar negeri, dan bukan saja dengan kalangan Islam, tetapi juga dengan para tokoh politik dan ilmuwan yang beragama lain. Pengalaman-pengalaman itulah yang dibawanya memasuki babak baru dalam kehidupannya setelah ia kembali ke negeri Mesir.
Ada tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum dan wakaf. Pembaharuan di bidang pendidikan dipusatkannya di al-Azhar. Ia beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam. Memperbaharui perangkat pendidikan berarti memperbaharui lembaga pendidikan Islam keseluruhannya. Sebaliknya membiarkannya dalam keadaan demikian, berarti membiarkan Islam menemui kehancurannya. Cita-cita yang demikian dimungkinkan pelaksanaannya karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar yang dibentuk atas usulnya sendiri. Pembaharuan yang dilakukannya tidak hanya menyangkut dengan sistem pengajaran, seperti: metode, kurikulum administrasi dan kesejahteraan para guru, tetapi juga mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.
Dampak positif dari pembaharuan yang dilakukannya, antara lain tampak dari jumlah murid yang diuji setiap tahun. Kalau sebelumnya murid yang bersedia diuji setiap tahun hanya lebih kurang enam orang, maka setelah pembaharuan itu diadakan jumlah tersebut meningkat menjadi sembilan pulih lima orang dan sepertiganya berhasil lulus.
Pembaharuan yang kedua yang dilakukan adalah dalam bidang hukum. Pengangkatannya sebagai Mufti di tahun 1899 menggantikan Syekh Hasunah al-Nadawi memberi peluang baginya untuk mengadakan pembaharuan di bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah memperbaiki kesalahan pandangan masyarakat, bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Mufti-mufti yang sebelumnya berpandangan, bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas mereka hanya sebagai penasehat hukum bagi kepentingan negara. di luar itu seakan mereka melepaskan diri dari orang yang mencari kepastian hukum. Pandangan yang demikianlah antara lain yang diluruskan Muhammad Abduh dengan jalan memberi kesempatan bagi siapa pun yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat untuk negara, tetapi juga bagi masyarakat luas. Agaknya ada makna yang positif dari usaha Muhammad Abduh yang demikian  terutama bagi masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak hanya dibutuhkan oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat.
Karirnya dalam bidang ini meningkat lagi dengan pengangkatannya sebagai anggota Majelis Syuro, dewan legislatif dalam pemerintahan Mesir. Salah satu hasil usahanya adalah membina hubungan yang harmonis antara Majelis Syura dengan pemerintah. Penciptaan hubungan yang demikian besar artnya dalam mengangkat wibawa majelis tersebut di mata masyarakat Mesir dan pemerintah sendiri.
Ia pun tampaknya tidak mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan sosial. Pada tahun 1892 ia mendirikan organisasi sosial yang bernama “al-Jamiat al-Khairiyyat al-Islamiyyat” yang tujuan utamanya adalah untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak yang tidak mampu dibiayai orang tuanya. Ide untuk mendirikan organisasi ini, seperti dikatakannya, timbul setelah ia menyaksikan organisasi yang demikian ketika ia berada di Eropa dan direalisasikan setelah ia kembali ke Mesir.
Wakaf merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya. Hal ini mungkin karena wakaf merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu, sedangkan pengelolaan administrasinya sangat tidak efektif. Untuk itulah ia membentuk Majelis Administrasi Wakaf dan ia duduk sebagai salah seorang anggotanya. Dalam kedudukan yang demikian ia berhasil memasukkan perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf.
Dalam kenyataannya tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang yang terutama dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang awam yang dapat mereka pengaruhi.
Tepatnya pada tanggal 8 Jumad al-Awal 1323 H/11 Juli 1905, ia meninggal dunia, dengan membawa konsep pembaharu yang belum tersalurkan karena banyak penghalang-penghalang yang kuat dalam menghadapinya. Jenazahnya dikebumikan di Kairo di pemakaman negara.[1]

C.     Konsep Pemikiran Muhammad Abduh

Ditinjau dari latar belakang kehidupannya, pemikiran Muhammad Abduh dipengaruhi oleh:[2]
1.      Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syekh Darwaisy dan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Di samping itu lingkungan  sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta pandangan keagamaan yang statis dan pikiran-pikiran yang fatalistis.
2.      Faktor kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di sekolah-sekolah formal, dari Jamaluddin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari Barat.
3.      Faktor politik, yang bersumber dari situasi politik dimasanya, sejak ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari kezaliman yang dilakukan oleh para pegawai di masa pemerintahan Muhammad Ali sampai kepada gejolak-gejolak politik di Mesir disebabkan oleh sistem pemerintahan yang absolut, politik rasialisme dan campur tangan asing di negeri Mesir.
Ketiga faktor tersebutlah antara lain yang tampaknya yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang, teologi, syariah, pendidikan, sosial dan politik. Berikut ini tiga diantara kelima bidang pemikiran tersebut akan dikaji, yaitu bidang teologi, syariah dan pendidikan.


Teologi

Teologi (ilmu tauhid) dalam pendapat Muhammad Abduh mempunyai dua objek kajian, yaitu tentang Allah dan tentang Rasul. Kajian tentang Allah tidak hanya membicarakan wujud Allah, tetapi juga tentang manusia sebagai ciptaan Tuhan. Dari itulah dalam sistem teologinya ditemukan pengkajian tentang perbuatan manusia disamping masalah-masalah ketuhanan lainnya.
Pandangan Muhammad Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Menurutnya ada tiga unsur yang mendukung suatu perbuatan, yaitu akal, kemauan dan daya. Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan bagi manusia yang dapat dipergunakannya dengan bebas. Jadi akal dann kebebasan memilih adalah natur manusia yang merupakan dua keistimewaan yang dimiliki manusia yang tidak terdapat pada makhluk lainnya. Kalau salah satu diantara keduanya hilang, kata Muhammad Abduh, maka ia tidak lagi bernama manusia, tetapi mungkin malaikat dan mungkin pula binatang.
Akan tetapi kebebasan yang dimaksudkan Muhammad Abduh bukanlah kebebasan tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut. Kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.  Tuhan, katanya, menjadikan segala sesuatu di atas hukum alam, berupa sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Dalam kenyataannya tidak semua sebab-sebab dapat diketahui manusia dan tidak semua sebab dapat terjangkau oleh kemampuan akalnya. Agaknya disinilah akal memegang peranan yang sangat penting. Semakin cerdas akal manusia semakin banyak pula alternatif yang dapat dikuasainya dan semakin tampak fungsi kebebasan yang dimilikinya. Sebaliknya semakin sedikit pengetahuan manusia, semakin pendek akalnya dan semakin sedikit alternatif yang bisa dipilihnya. Kebebasannya pun akan semakin terbatas. Dengan demikian penghalang atau pembatas kehendak dan kebebasan manusia datang dari diri manusia itu sendiri, berupa ketidakmampuannya memenuhi sebab-sebab yang ditetapkan Allah.
Selain Muhammad Abduh membahas tentang perbuatan manusia, ia juga menguraikan tentang kada dan kadar Allah. Kada dan kadar dalam pendapat Muhammad Abduh termasuk salah satu diantara pokok-pokok akidah dalam agama. Ia harus diberi pengertian yang benar, karena sebagai akidah yang bertempat di hati ia akan terpantul dalam sikap dan perbuatan. Dari itulah akidah kada dan kadar yang benar bisa memantulkan sikap hidup yang dinamis, sedang akidah yang menyimpang dapat pula menimbulkan sikap yang tidak menguntungkan, fatalistik, bahkan pemahaman yang salah terhadap ajaran-ajaran agama lainnya. Keyakinan  terhadap kada dan kadar yang menyimpang, telah membawa kehancuran dalam sejarah umat Islam, sama halnya dengan akidah yang benar telah mengantarkan umat Islam kepada masa-masa kejayaannya.  Munculnya pernyataan Muhammad Abduh yang demikian kelihatannya dilatar belakangi oleh akidah yang umumnya dianut umat Islam ketika itu.
Kada menurut pendapatnya berarti “kaitan antara ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui”, sedang kadar “terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan”. Jadi, ilmu atau pengetahuan Tuhan merupakan inti pengertian yang terkandung dalam kada dan kadar. Apa yang diketahui Tuhan pasti akan sesuai dengan kenyataan, dan mustahil bisa disebut sebagai suatu yang diketahui jika sesuai dengan kenyataan.
Mempercayai kada dan kadar menurut Muhammad Abduh adalah juga meyakini bahwa setiap peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan, sehingga peristiwa yang telah berlalu dapat dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut menurutnya adalah Allah yang mengatur segala sesuatu menurut hukumnya yang tersendiri yang merupakan komponen dari suatu sistem yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan Sunnah Allah, dan manusia tidak dapat melepaskan diri dan harus tunduk pada setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan.[3]

Syariah

Pemikiran Muhammad Abduh dalam masalah ini akan diungkapkan dalam dua hal, yaitu pandangannya tentang ijtihad dan mazhab fikih dan corak ijtihad yang dilakukannya. Muhammad Abduh tampaknya sangat menghargai para mujtahid dari aliran atau mazhab fikih mana pun. Dalam pandangannya para mujtahid adalah mereka yang telah mengorbankan kesanggupannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah.
Seorang muslim, kata Muhammad Abduh, haruslah memandang hasil ijtihad tersebut sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar dan yang bisa saja bersalah. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat tersebut adalah dengan kembali kepada sumbernya yang asli, yaitu Qur’an dan Sunnah. Tiadanya ijtihad menyebabkann kaum muslimin akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syariah. Hal inilah tampaknya yang menjadi salah satu dasar pemikiran Muhammad Abduh untuk menganggap pintu ijtihad tidak mungkin ditutup, tetapi harus dibuka untuk selamanya.
Mereka yang berilmu pengetahuan atau yang disebutnya dengan ahli fikih harus membentuk suatu tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tengan pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang berbeda, untuk diamalkan. Yang ditekankannya dalam hal ini tampaknya adalah peninjauan kembali hasil ijtihad tersebut dengan melihat situasi yang melatar belakangi di kala keputusan hukum itu ditetapkan oleh para mujtahid yang terdahulu. Jadi, fungsi tim yang terutama adalah melakukan peninjauan ulang terhadap pendapat hasil ijtihad ulama masa lalu, agar hasil ijtihad masa lalu yang ditekankan dengan pertimbangann situasi dan kondisi tertentu, tidak diterapkan pada situasi dan kondisi yang berlainan.
Dengan demikian tampaklah bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang sikap yang harus diambil umat Islam terhadap syariah dalam memenuhi keperluan mereka tentang kepastian hukum. Ijtihad harus dilakukan, sehingga syariah tidak mengikat kemajuan umat, tetapi melayani kepentingan dan kebutuhan umat yang syariah diperuntukkan Tuhan baginya.
Salah satu cara yang diterapkan Muhammad Abduh dalam berijtihad adalah memelihara manfaat dan kemaslahatan umum.  Teks-teks Qur’an, kata Muhammad Abduh,  mengandung prinsip-prinsip yang umum dan kekal, serta sesuai dengan kemaslahatan manusia dalam segala masa dan tempat. Dari itulah ia harus diaplikasikan ke dalam problema yang timbul berdasarkan kemaslahatan manusia yang dikandungnya. Pengaplikasian tersebut memerlukan ijtihad karena situasi dan kondisi yang terus berubah dengan peninjauan ulang terhadap pendapat dan hasil lijtihad masa lalu. Dengan demikian menurutnya pintu ijtihad tidak pernah tertutup, dan seperti kata Fazlurrahman, pendapat yang demikian membuka kemungkinan masuknya ide-ide baru dan pencarian ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dari ijtihad Muhammad Abduh yang demikian terdapat beberapa unsur ijtihad yang memungkinkannya untuk menjadi sebuah mazhab. Akan tetapi, ia tidak berusaha  untuk membangun mazhab. Pemikirannya tidak diwarisi secara mutlak oleh para muridnya. Bahkan, Rasyid Rida, murid yang paling dekat dengannya mempunyai banyak perbedaan pendapat dengannya dalam hal-hal yang mendasar.  Di samping itu mereka umumnya adalah para tokoh pembaharu yang mengumandangkan pembaharuan pemikiran dalam segala bidang dan memberantas taklid. Sedangkan mazhab, seperti yang ditunjukkan sejarah, bisa menjurus kepada pemupukan taklid. Pemikiran Muhammad Abduh yang demikian akan tampak dalam pemikiran pendidikannya yang akan diuraikan berikut ini yang tercermin dalam kurikulum yang dicanangkannya.[4]

Pendidikan

Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar-belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial  keagamaan dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu.
Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khurafat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu, juga berkembang di Mesir. Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahsa, syariah, akidah dan sistem masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang di atas tampaknya terkait antara satu dengan lainnya dan kejumudan dalam satu bidang, terutama bidang akidah mempengaruhi bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Muhammad Abduh berasumsi bahwa, akidah jabariat-lah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kejumudan itu. Ajarannya yang cenderung kepada sikap pasif dan kepercayaan pada kasih sayang Tuhann mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan. Konsekuensinya, moral umat Islam semakin jauh menyimpang dari tuntutan Islam.
Situasi lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan yang ada saat itu. Seperti diketahui, pada  abad kesembilan belas Muhammad Ali memulai pembaharuan pendidikan di Mesir. Pembaharuan yang timpang, yang hanya menekankan perkembangan aspek intelek, mewariskan dua tipe pendidikan pada abad keduapuluh. Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa Asing.
Dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan klas elite generasi muda, hasil pendidikan yang dimulai pada abad ke sembilan belas. Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat. Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran  yang  demikian. ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk mempertahankan pemikiran yang demikian hanya akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran yang kedua  ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya mementingkan perkembangan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya.
Disamping pendidikan akal ia pun mementungkan pendidikan spiritual. Dengan demikian ia tidak hanya mengharapkan  lahirnya generasi yang mampu berpikir, tetapi juga yang memiliki akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkannya moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan demikian kedua aspek, akal dan spiritual, menjadi sasaran utama pendidikan Muhammad Abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.[5]
Pengaruh Pemikiran Muhammad Abduh ke Indonesia
Dalam abad XIX perhubungan antara Indonesia dengan Makkah menjadi lebih cepat dengan adanya kapal api. Maka makin banyak orang Indonesia pergi menunaikan ibadah haji dan mereka berkenalan dengan pikiran-pikiran masa itu di tanah Arab dan Timur Tengah pada umumnya. Maka disadarilah bahwa dalam masa beberapa ratus tahun antara abad XV dan XIX itu terdapat perbedaan besar dalam pikiran-pikiran orthodox yang dikemukakan di Makkah ke daerah pesisir dan ke daerah pedalaman di Indoneia yang kesmeunya menambah kokohnya golongan orthodox.
Pada akhir abad XIX pikiran-pikiran reformis Islam yang timbul di Mesia di bawah pengaruh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh sampai ke Indonesia dan pandangan yang diutarakan oleh kaum modernis yang berkumpul di sekitar al Manar tersebarlah di negeri ini. Gerakan reformiasi ini pada hakekatnya bertujuan pada semacam kompromi antara rasionalisme (aqli) di satu pihak dan fundamentalisme (mutadaiyin) di pihak lain. Muhammad Aduh menganjurkan supaya umat Islam sekaligus berbareng menguasai ilmu dan teknik Barat, mencemplungkan diri dalam proses modernisasi dengan  berpegang teguh pada fundamen-fundamen, asas-asas Islam serta memberikan perhatian yang lebih besar kepada Qur'an dan Sunnah.[6]



D.    RASYID RIDA

Rasyid Rida adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al Qur'an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Al Madrasah Al Wataniah Al Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengatahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern.
Sekolah ini didirikan oleh al Syaikh Husain Al Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di masa itu sekolah-sekolah missi Kristen telah mulai bertimbulan di Suria dan banyak menarik perhatian orang tua untuk memasukkan anak-anak mereka belajar di sana. Dalam usaha menandingi daya tarik sekolah-sekolah missi inilah maka Al-Syaikh Husain Al Jisr mendirikan Sekolah Nasional Islam tersebut, tapi mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Usmani sehingga umur sekolah itu tidak panjang.
Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli, tetapi dalam pada itu hubungan dengan Al-Syaikh Husain Al Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abdul melalui majalah Al-Urwah Al Wustaqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid Al-Afghani yang terdekat  ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperolehnya dari Al Syaikh Husain al Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya ini.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, Al Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan Al Manar sama dengan tujuan Al Urwah Al Wusqa, antara lain, mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhyul dan bid'ah-bid'ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Majalah ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh. Guru memberikan ide-ide kepada murid dan kemudian muridlah yang menjelaskan dan menyiarkannya kepada umum melalui lembaran-lembaran Al-Manar, tetapi selain dari ide-ide, Al Manar juga mengandung artikel-artikel yang dikarang Muhammad Abduh sendiri, juga tulisan pengarang-pengarang lain.[7]

E.     Pemikiran RASYID RIDA

  1. Dalam bidang Agama
Rasyid Rida melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Al Qur'an, yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern tetapi guru tidak sefaham dengan murid dalam hal ini. Akan tetapi, Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al Qur'an di al Azhar setelah didesak muridnya. Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan dihadiri oleh Rasyid Rida. Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat untuk seterusnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Dengan demikian timbulah apa yang kemudian dikenal dengan tafsir al Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan guru. Muhammad Abduh memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari surat an Nisa' (Jilid III dari tafsir al Manar) dan selanjutnya adalah tafsiran murid sendiri.
  1. Bidang pendidikan
Rasyid Rida juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.
Di ketika ia ingin membuka madrasah baru di tahun 1909, kepadanya sampai keluhan-keluhan dari beberapa dunia Islam, diantaranya dari Indonesia tentang aktivitas missi Kristen di negara-negara itu. Untuk menandingi aktivitas ini ia melihat perlunya diadakan sekolah missi Islam. Di tahun itu juga Ia pergi ke Istambul meminta sokongan dan bantuan tetapi tidak berhasil. Usahanya di Cairo akhirnya berhasil, dan di tahun 1912 dapat didirikan sekolah yang dimaksud dengan nama madrasarh Al Da'wah Al Irsyad.
Para lulusan akan dikirim ke berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan mereka. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya Perang Dunia I.
  1. Bidang Politik
Sewaktu masih di tanah airnya Rasyid Rida telah pernah memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir ia juga ingin meneruskan kegiatan politiknya. Tetapi atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia memulai bermain politik. Di dalam majalan al Manar ia mulai menulis dan memuat karangan-karangan yang menentang pemerintahan absolut Kerajaan Usmani. Selanjutnya juga tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membagi-bagi dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing.
Untuk  menggagalkan politik Inggris-Perancis itu, ia kunjungi beberapa negara Arab guna menjelaskan bahaya politik kerjasama Arab dengan Inggris dan Perancis dalam usaha mereka menjatuhkan Kerajaan Usmani. Usahanya dengan Raja Faisal di Hejaz gagal. Selanjutnya ia turut memainkan peranan dalam kongres Suria dan dalam perundingan Arab dengan Inggris.  Di Konferensi Jenewa ia turut serta sebagai anggota Delegasi Suria-Palestina.
Di masa tua, sungguhpun kesehatannya telah selalu terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya dari menghantarkan pangeran Su'ud ke kapal di Suez.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rayid Rida, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ke dalam Islam telah banyak masuk bid'ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat. Di antara bid'ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, demikian Rasyid Rida, melalui hukum alam yang diciptakan Tuhan. Satu bid'ah lain yang mendapat tantangan keras dari Rasyid Rida ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang tawakal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.[8]
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid'ah yang mendatang itu. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadat dan sederhana dalam muamalatnya. Ibadat kelihatan berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadat telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunat. Mengenai hal-hal yang sunat ini terdapat perbedaan faham dan timbulah kekacauan. Dalam soal muamalat, hanya dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas al Qur'an dan Hadis tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat dirobah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul. Terhadap sikap fanatik yang terdapat dizamanya ia menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal dasarlah yang perlu dipertahankan kesamaan faham umat, tetapi dalam hal perincian dan bukan dasar diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya. Selanjutnya ia menganjurkan pembaharuan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum.[9]

F.      Pengaruh Pemikiran Keduanya di Indonesia
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya ~ yang dikenal dengan gerakan pembaharuan ~ didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang  mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokok pemikir Islam terkenal, Jamaluddin al-Afghani (1839 – 1897 M).
Kedua gerakan ini serta adanya usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam, di Indonesia muncul partai politik besar yang menentang penjajahan di Indonesia seperti Sarekat Islam (S1), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, parti ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. tak lama kemudian partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru), didirikan oleh Mohammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam Indonesia dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam kenyataan, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.
Akhirnya, negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaanya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Membahas kondisi umat Islam Indonesia, adalah umat yang unik. Keunikan itu dpat dilihat dari besarnya kuantitas para pemeluknya, akan tetapi kecil kualitas peranannya, terutama dalam percaturan politik pemerintahan. Hal semacam ini dapat terjadi karena bermacam-macam sebab, seperti: latar belakang pendidikan, lingkungan, kedudukan, keturunan dan banyak lagi. Kondisi demikian tentu membawa pola berpikir dan pandangan tentang Islam satu sama lain berbeda.
Kondisi umat Islam Indonesia seperti ini perlu mendapat perhatian yang serius dari kalangan pemikir Islam. Akhirnya pada abad ke XIX pikiran-pikiran reformasi Islam yang timbul di Mesir di bawah pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh bermunculan. Hal ini disebabkan karena perhubungan antara Indonesia dengan Makkah menjadi lebih cepat dengan adanya kapal api. Maka makin banyak orang Indonesia pergi menunaikan ibadah haji dan mereka berkenalan dengan pikiran-pikiran masa itu di tanah Arab dan Timur Tengah pada umumnya. Maka disadarilah bahwa dalam masa beberapa ratus tahun antara abad XV dan abad XIX itu terdapat perbedaan besar dalam pikiran-pikiran orthodox yang dikemukakan di Makkah ke daerah pesisir dan ke daerah pedalaman di Indonesia yang kesemuanya itu menambah kokohnya golongan orthodox.
Timbulnya gerakan reformasi ini pada hakekatnya bertujuan pada semacam kompromi antara rasionalisma (aqli) di satu pihak dan fundamentalisme (mutadaiyin) di lain pihak. Muhammad Abduh menganjurkan supaya umat Islam sekaligus berbareng menguasai ilmu dan teknik Barat, mencemplungkan diri dalam proses modernisasi dengan berpegang teguh fundamen-fundamen, asas-asas Islam serta memberikan perhatian yang lebih besar kepada Qur'an dan Sunnah.
Gerakan salaf (orthodox) masuk ke Indonesia bersamaan pulangnya Haji Miskin (1802) dari ibadah haji dan sementara bermukim, pulang ke Minangkabau. Orang-orang itulah terkenal dengan julukan "Harimau nan Salapan" yang dinamakan kaum Paderi, berpakaian serba putih, mereka mengadakan perombakan secara kekerasan radikal, sehingga terjadi peperangan antara mereka dengan pemerintah colonial Belanda.     
Gerakan pembaruan ini berkembang pesar, kemudian menjalar ke Sumatra Barat, Jambi, Palembang, Sumatera Timur, Tapanuli, Bengkulu dan Lampung. Madrasah-madrasah modern mulai didirikan dan tumbuh bak cendawan di musim hujan, menambah semaraknya sinar agama Islam, terhadap perkembangan yang demikian, tak ada jalan lain lagi bagi pemerintah colonial Belanda melainkan hanya menyaksikan dengan kecemasan, dari sana akan timbul pemberontakan hebat untuk menghancurkan penjajah yang telah menjadi golongan vested interest.
Dengan cepatnya gerakan pembaruan itu membakari kemunduran-kemunduran Islam di seluruh bagian Nusantara. Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan di mana saja sinar Islam itu padam apinya, dinyalakan kembali oleh gerakan salaf itu.[10]

 

G.    Penutup

Lahirnya pemikiran modern di awal abad keduapuluh tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik dan keagamaan yang umumnya dihadapi umat Islam saat itu. pemikiran-pemikiran yang dicetuskan Muhammad Abduh mencoba untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan para tokoh dan pemikir  membaca dan memahami situasi yang ada.
Menghadapi masalah sosial, politik dan keagamaan, agama pun saat itu telah kehilangan ruhnya dan menjadi simbol-simbol yang tidak bermakna. Khurafat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bid’ah merajalela di lingkungan agama, taklid mengiringi setiap mazhab.
Sadar akan ketinggalan dan kemunduran umat Islam, muncullah di Mesir Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh, Khedewi Abbas, Muhammad Said dan masih banyak tokoh-tokoh yang memikirkan kebangkitan Islam.
Kebangkitan umat Islam mulai terpikirkan pada abad ke sembilan belas, dengan terbukanya pintu-pintu ijtihad yang membuka pemikiran atau ide-ide untuk mengembangkan umat Islam. Terkikisnya taklid terhadap mazhab-mazhab yang sudah membelenggu para pengikutnya. Dan kembalinya umat Islam kepada tuntunan awal yaitu Qur’an dan Sunnah.


Daftar Pustaka

Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang. Jakarta.
Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-tantangan yang dihadapi dari Masa ke Masa. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. 1985.

Harus Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Bulan Bintang. Jakarta. 1975.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999.





[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Bulan Bintang. Jakarta. 1975.
[2] Muhammad Ad Daudi, Pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammadiyah, Bulan Bintang. Jakarta. 1996.
[3] Ibid., hal. 100.

[4] Op. Cit., hal. 104
[5] Lock. Cit. hal. 110.
[6] Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang. Jakarta
[7] Harun Nasution, Ibid., 64.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam.  PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999.
[9] Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-tantangan yang dihadapi dari Masa ke Masa. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. 1985.
[10] Ibid., 120.

Klik aku di sini:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih