MUHAMMAD ABDUH
DAN RASYID RIDA
(Kajian
Pemikiran Keduanya di Indonesia)
A. Pendahuluan
Periode modern dalam
sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di
awal periode ini kondisi dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi
kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke 20 M dunia Islam bangkit
memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.
Periode ini memang
merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di
periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan
dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal.
Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing
yang masuk dann diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan
dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid'ah, khurafat dan
takhayul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka yang membawa Islam menjadi
mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran
atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi. Kedua,
pada periode ini Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban.
Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka,
karena itu mereka berusaha bangkit dengan Mencontoh Barat dalam masalah politik
dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
B. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh, lahir pada tahun 1265 H bertepatan dengan tahun 1848 M
di sebuah desa di Propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair
Allah, dan nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Ia
lahir dalam lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta
ilmu pengetahuan. orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr. Situasi
politik yang tidak stabil menyebabkan orang tuanya menyingkir ke desa
kelahirannya dan kembali ke Mahallat Nashr setelah situasi politik mengizinkan.
Di kota itulah ia tumbuh menjadi remaja dengan kegemaran
yang umumnya digemari oleh remaja di masanya.
Masa pendikannya dimulai dengan pelajaran dasar membaca dan menulis
yang didapatinya dari orang tuanya sendiri. Kemudian sebagai pelajaran lanjutan
ia belajar Qur’an pada seorang hafizh. Hanya dalam waktu dua tahun, ia telah
menjadi seorang hafidh yang mampu menghafal seluruh isi qur’an. Muhammad Abduh
sebagai seorang yang kritis merasakan tidak efektifnya metode hafalan tanpa
pengertian, ia berpendapat lebih baik tidak belajar daripada menghabiskan waktu
menghafal istilah-istilah nahwu dan fikih yang sama sekali tidak dipahaminya.
Pendapatnya yang demikian terbukti dengan kembalinya ia ke Mahallat Nashr,
hidup sebagai petani, dan kemudian ia kawin dalam usia 16 tahun.
Pada akhir tahun 1286 H ia kembali ke Thanta, akan tetapi enam bulan
kemudian ia kembali meninggalkan Thanta dan kali ini ia menuju al-Azhar, setelah ia beroleh ilham bahwa al-Azhar
adalah tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya
Tahun 1871 merupakan tahun yang mempunyai arti penting bagi perjalanan
karirnya. Di tahun itulah ia bertemu dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani yang
datang ke Mesir pada tahun itu. Dari Jamaluddin ia mendapatkan ilmu
pengetahuan, antara lain falsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti, meskipun
sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar al-Azhar. Pada tahun
1877 ia berhasil menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar ‘alim dan berhak mengajar di universitas
tersebut.
Ia pernah menjadi hakim di luar kota Kairo, tepatnya di kota Benha dan kemudian sebagai
penasihat pada Mahkamah Tinggi di Kairo.
Perjalanan karir Muhammad Abduh yang diuraikan di
atas menggambarkan kekayaan pengalaman yang dimiliknya. Ia tidak hanya
mendapatkannya di negeri Mesir, tetapi juga di luar negeri, dan bukan saja
dengan kalangan Islam, tetapi juga dengan para tokoh politik dan ilmuwan yang
beragama lain. Pengalaman-pengalaman itulah yang dibawanya memasuki babak baru
dalam kehidupannya setelah ia kembali ke negeri Mesir.
Ada tiga pranata yang menjadi
sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum dan wakaf. Pembaharuan di
bidang pendidikan dipusatkannya di al-Azhar. Ia beralasan bahwa al-Azhar adalah
pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam. Memperbaharui perangkat pendidikan
berarti memperbaharui lembaga pendidikan Islam keseluruhannya. Sebaliknya
membiarkannya dalam keadaan demikian, berarti membiarkan Islam menemui
kehancurannya. Cita-cita yang demikian dimungkinkan pelaksanaannya karena
kedudukannya sebagai wakil pemerintah Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar yang
dibentuk atas usulnya sendiri. Pembaharuan yang dilakukannya tidak hanya
menyangkut dengan sistem pengajaran, seperti: metode, kurikulum administrasi
dan kesejahteraan para guru, tetapi juga mencakup sarana fisik, seperti asrama
mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.
Dampak positif dari pembaharuan yang dilakukannya, antara lain tampak
dari jumlah murid yang diuji setiap tahun. Kalau sebelumnya murid yang bersedia
diuji setiap tahun hanya lebih kurang enam orang, maka setelah pembaharuan itu
diadakan jumlah tersebut meningkat menjadi sembilan pulih lima orang dan sepertiganya
berhasil lulus.
Pembaharuan yang kedua yang dilakukan adalah dalam bidang hukum.
Pengangkatannya sebagai Mufti di tahun 1899 menggantikan Syekh Hasunah
al-Nadawi memberi peluang baginya untuk mengadakan pembaharuan di bidang
tersebut. Usahanya yang pertama adalah memperbaiki kesalahan pandangan
masyarakat, bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka
sebagai hakim. Mufti-mufti yang sebelumnya berpandangan, bahwa sebagai mufti
yang ditunjuk negara tugas mereka hanya sebagai penasehat hukum bagi
kepentingan negara. di luar itu seakan mereka melepaskan diri dari orang yang
mencari kepastian hukum. Pandangan yang demikianlah antara lain yang diluruskan
Muhammad Abduh dengan jalan memberi kesempatan bagi siapa pun yang memerlukan
jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat untuk negara, tetapi juga bagi
masyarakat luas. Agaknya ada makna yang positif dari usaha Muhammad Abduh yang
demikian terutama bagi masyarakat, yaitu
agar kehadiran mereka tidak hanya dibutuhkan oleh negara, tetapi juga oleh
masyarakat.
Karirnya dalam bidang ini meningkat lagi dengan pengangkatannya sebagai
anggota Majelis Syuro, dewan legislatif dalam pemerintahan Mesir. Salah satu
hasil usahanya adalah membina hubungan yang harmonis antara Majelis Syura
dengan pemerintah. Penciptaan hubungan yang demikian besar artnya dalam
mengangkat wibawa majelis tersebut di mata masyarakat Mesir dan pemerintah
sendiri.
Ia pun tampaknya tidak mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan
kegiatan sosial. Pada tahun 1892 ia mendirikan organisasi sosial yang bernama “al-Jamiat al-Khairiyyat al-Islamiyyat”
yang tujuan utamanya adalah untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak yang
tidak mampu dibiayai orang tuanya. Ide untuk mendirikan organisasi ini, seperti
dikatakannya, timbul setelah ia menyaksikan organisasi yang demikian ketika ia
berada di Eropa dan direalisasikan setelah ia kembali ke Mesir.
Wakaf merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari
perhatiannya. Hal ini mungkin karena wakaf merupakan sumber dana yang sangat
berarti pada masa itu, sedangkan pengelolaan administrasinya sangat tidak
efektif. Untuk itulah ia membentuk Majelis Administrasi Wakaf dan ia duduk
sebagai salah seorang anggotanya. Dalam kedudukan yang demikian ia berhasil
memasukkan perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana
wakaf.
Dalam kenyataannya tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang
dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang yang
terutama dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang
awam yang dapat mereka pengaruhi.
Tepatnya pada tanggal 8 Jumad al-Awal 1323 H/11 Juli
1905, ia meninggal dunia, dengan membawa konsep pembaharu yang belum
tersalurkan karena banyak penghalang-penghalang yang kuat dalam menghadapinya.
Jenazahnya dikebumikan di Kairo di pemakaman negara.[1]
C. Konsep Pemikiran Muhammad Abduh
Ditinjau dari latar belakang kehidupannya, pemikiran Muhammad Abduh
dipengaruhi oleh:[2]
1. Faktor sosial,
berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syekh Darwaisy
dan Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Di samping itu lingkungan sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia
menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta pandangan keagamaan yang
statis dan pikiran-pikiran yang fatalistis.
2. Faktor
kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di
sekolah-sekolah formal, dari Jamaluddin al-Afghani, serta pengalaman yang
ditimbanya dari Barat.
3. Faktor
politik, yang bersumber dari situasi politik dimasanya, sejak ia hidup dalam
lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari kezaliman yang dilakukan oleh
para pegawai di masa pemerintahan Muhammad Ali sampai kepada gejolak-gejolak
politik di Mesir disebabkan oleh sistem pemerintahan yang absolut, politik
rasialisme dan campur tangan asing di negeri Mesir.
Ketiga faktor tersebutlah antara lain yang tampaknya yang
melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang,
teologi, syariah, pendidikan, sosial dan politik. Berikut ini tiga diantara
kelima bidang pemikiran tersebut akan dikaji, yaitu bidang teologi, syariah dan
pendidikan.
Teologi
Teologi (ilmu tauhid) dalam pendapat Muhammad Abduh mempunyai dua objek
kajian, yaitu tentang Allah dan tentang Rasul. Kajian tentang Allah tidak hanya
membicarakan wujud Allah, tetapi juga tentang manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Dari itulah dalam sistem teologinya ditemukan pengkajian tentang perbuatan
manusia disamping masalah-masalah ketuhanan lainnya.
Pandangan Muhammad Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu
deduksi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya.
Menurutnya ada tiga unsur yang mendukung suatu perbuatan, yaitu akal, kemauan
dan daya. Ketiganya merupakan ciptaan Tuhan bagi manusia yang dapat
dipergunakannya dengan bebas. Jadi akal dann kebebasan memilih adalah natur
manusia yang merupakan dua keistimewaan yang dimiliki manusia yang tidak
terdapat pada makhluk lainnya. Kalau salah satu diantara keduanya hilang, kata
Muhammad Abduh, maka ia tidak lagi bernama manusia, tetapi mungkin malaikat dan
mungkin pula binatang.
Akan tetapi kebebasan yang dimaksudkan Muhammad Abduh bukanlah
kebebasan tanpa batas atau kebebasan yang bersifat absolut. Kekuasaan Allah
adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Tuhan, katanya, menjadikan segala sesuatu di atas hukum alam, berupa
sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Dalam kenyataannya tidak semua sebab-sebab
dapat diketahui manusia dan tidak semua sebab dapat terjangkau oleh kemampuan
akalnya. Agaknya disinilah akal memegang peranan yang sangat penting. Semakin
cerdas akal manusia semakin banyak pula alternatif yang dapat dikuasainya dan
semakin tampak fungsi kebebasan yang dimilikinya. Sebaliknya semakin sedikit
pengetahuan manusia, semakin pendek akalnya dan semakin sedikit alternatif yang
bisa dipilihnya. Kebebasannya pun akan semakin terbatas. Dengan demikian
penghalang atau pembatas kehendak dan kebebasan manusia datang dari diri
manusia itu sendiri, berupa ketidakmampuannya memenuhi sebab-sebab yang
ditetapkan Allah.
Selain Muhammad Abduh membahas tentang perbuatan manusia, ia juga
menguraikan tentang kada dan kadar Allah. Kada dan kadar dalam pendapat
Muhammad Abduh termasuk salah satu diantara pokok-pokok akidah dalam agama. Ia
harus diberi pengertian yang benar, karena sebagai akidah yang bertempat di
hati ia akan terpantul dalam sikap dan perbuatan. Dari itulah akidah kada dan
kadar yang benar bisa memantulkan sikap hidup yang dinamis, sedang akidah yang
menyimpang dapat pula menimbulkan sikap yang tidak menguntungkan, fatalistik,
bahkan pemahaman yang salah terhadap ajaran-ajaran agama lainnya.
Keyakinan terhadap kada dan kadar yang
menyimpang, telah membawa kehancuran dalam sejarah umat Islam, sama halnya
dengan akidah yang benar telah mengantarkan umat Islam kepada masa-masa kejayaannya. Munculnya pernyataan Muhammad Abduh yang
demikian kelihatannya dilatar belakangi oleh akidah yang umumnya dianut umat
Islam ketika itu.
Kada menurut pendapatnya berarti “kaitan
antara ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui”, sedang kadar “terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan”.
Jadi, ilmu atau pengetahuan Tuhan merupakan inti pengertian yang terkandung
dalam kada dan kadar. Apa yang diketahui Tuhan pasti akan sesuai dengan
kenyataan, dan mustahil bisa disebut sebagai suatu yang diketahui jika sesuai
dengan kenyataan.
Mempercayai kada dan kadar menurut Muhammad Abduh adalah juga meyakini
bahwa setiap peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab
tersebut menciptakan suatu keteraturan, sehingga peristiwa yang telah berlalu
dapat dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut menurutnya adalah Allah
yang mengatur segala sesuatu menurut hukumnya yang tersendiri yang merupakan
komponen dari suatu sistem yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya
dengan Sunnah Allah, dan manusia tidak dapat melepaskan diri dan harus tunduk
pada setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan.[3]
Syariah
Pemikiran Muhammad Abduh dalam masalah ini akan diungkapkan dalam dua
hal, yaitu pandangannya tentang ijtihad dan mazhab fikih dan corak ijtihad yang
dilakukannya. Muhammad Abduh tampaknya sangat menghargai para mujtahid dari
aliran atau mazhab fikih mana pun. Dalam pandangannya para mujtahid adalah
mereka yang telah mengorbankan kesanggupannya yang maksimal untuk mendapatkan
kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah.
Seorang muslim, kata Muhammad Abduh, haruslah memandang hasil ijtihad
tersebut sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar dan
yang bisa saja bersalah. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi
perbedaan pendapat tersebut adalah dengan kembali kepada sumbernya yang asli,
yaitu Qur’an dan Sunnah. Tiadanya ijtihad menyebabkann kaum muslimin akan
mencari keputusan hukum di luar ketentuan syariah. Hal inilah tampaknya yang
menjadi salah satu dasar pemikiran Muhammad Abduh untuk menganggap pintu
ijtihad tidak mungkin ditutup, tetapi harus dibuka untuk selamanya.
Mereka yang berilmu pengetahuan atau yang disebutnya dengan ahli fikih
harus membentuk suatu tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tengan
pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang berbeda, untuk
diamalkan. Yang ditekankannya dalam hal ini tampaknya adalah peninjauan kembali
hasil ijtihad tersebut dengan melihat situasi yang melatar belakangi di kala
keputusan hukum itu ditetapkan oleh para mujtahid yang terdahulu. Jadi, fungsi
tim yang terutama adalah melakukan peninjauan ulang terhadap pendapat hasil
ijtihad ulama masa lalu, agar hasil ijtihad masa lalu yang ditekankan dengan
pertimbangann situasi dan kondisi tertentu, tidak diterapkan pada situasi dan
kondisi yang berlainan.
Dengan demikian tampaklah bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang
sikap yang harus diambil umat Islam terhadap syariah dalam memenuhi keperluan
mereka tentang kepastian hukum. Ijtihad harus dilakukan, sehingga syariah tidak
mengikat kemajuan umat, tetapi melayani kepentingan dan kebutuhan umat yang
syariah diperuntukkan Tuhan baginya.
Salah satu cara yang diterapkan Muhammad Abduh dalam berijtihad adalah
memelihara manfaat dan kemaslahatan umum.
Teks-teks Qur’an, kata Muhammad Abduh,
mengandung prinsip-prinsip yang umum dan kekal, serta sesuai dengan
kemaslahatan manusia dalam segala masa dan tempat. Dari itulah ia harus
diaplikasikan ke dalam problema yang timbul berdasarkan kemaslahatan manusia
yang dikandungnya. Pengaplikasian tersebut memerlukan ijtihad karena situasi
dan kondisi yang terus berubah dengan peninjauan ulang terhadap pendapat dan
hasil lijtihad masa lalu. Dengan demikian menurutnya pintu ijtihad tidak pernah
tertutup, dan seperti kata Fazlurrahman, pendapat yang demikian membuka
kemungkinan masuknya ide-ide baru dan pencarian ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dari ijtihad Muhammad Abduh yang demikian terdapat beberapa unsur
ijtihad yang memungkinkannya untuk menjadi sebuah mazhab. Akan tetapi, ia tidak
berusaha untuk membangun mazhab.
Pemikirannya tidak diwarisi secara mutlak oleh para muridnya. Bahkan, Rasyid
Rida, murid yang paling dekat dengannya mempunyai banyak perbedaan pendapat
dengannya dalam hal-hal yang mendasar. Di
samping itu mereka umumnya adalah para tokoh pembaharu yang mengumandangkan
pembaharuan pemikiran dalam segala bidang dan memberantas taklid. Sedangkan
mazhab, seperti yang ditunjukkan sejarah, bisa menjurus kepada pemupukan
taklid. Pemikiran Muhammad Abduh yang demikian akan tampak dalam pemikiran
pendidikannya yang akan diuraikan berikut ini yang tercermin dalam kurikulum
yang dicanangkannya.[4]
Pendidikan
Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih
dilatar-belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang ada
pada saat itu.
Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah
sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir dalam memahami dan
melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya
tidak jauh berbeda dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam
lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khurafat yang menjadi ciri
dunia Islam saat itu, juga berkembang di Mesir. Muhammad Abduh memandang
pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahsa, syariah,
akidah dan sistem masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang di atas tampaknya
terkait antara satu dengan lainnya dan kejumudan dalam satu bidang, terutama
bidang akidah mempengaruhi bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Muhammad Abduh
berasumsi bahwa, akidah jabariat-lah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya
kejumudan itu. Ajarannya yang cenderung kepada sikap pasif dan kepercayaan pada
kasih sayang Tuhann mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.
Konsekuensinya, moral umat Islam semakin jauh menyimpang dari tuntutan Islam.
Situasi lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhammad Abduh
adalah sistem pendidikan yang ada saat itu. Seperti diketahui, pada abad kesembilan belas Muhammad Ali memulai
pembaharuan pendidikan di Mesir. Pembaharuan yang timpang, yang hanya
menekankan perkembangan aspek intelek, mewariskan dua tipe pendidikan pada abad
keduapuluh. Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah
modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh
bangsa Asing.
Dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan
spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta
tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk
mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan klas elite generasi
muda, hasil pendidikan yang dimulai pada abad ke sembilan belas. Dengan ilmu-ilmu
Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat.
Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran yang
demikian. ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat
dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk mempertahankan pemikiran yang demikian
hanya akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan
dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran yang kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi
agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap.
Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua
institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan
yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan
tujuan yang demikian pula ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai
struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal,
tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang jelas
bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya mementingkan
perkembangan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya.
Disamping pendidikan akal ia pun mementungkan pendidikan spiritual.
Dengan demikian ia tidak hanya mengharapkan
lahirnya generasi yang mampu berpikir, tetapi juga yang memiliki akhlak
yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkannya
moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencerminkan
kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan demikian kedua aspek, akal dan
spiritual, menjadi sasaran utama pendidikan Muhammad Abduh. Ia berkeyakinan
bila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan
dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan dapat berpacu dengan
Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam
kebudayaan.[5]
Pengaruh Pemikiran Muhammad
Abduh ke Indonesia
Dalam abad XIX perhubungan antara Indonesia dengan Makkah menjadi lebih
cepat dengan adanya kapal api. Maka makin banyak orang Indonesia pergi menunaikan ibadah
haji dan mereka berkenalan dengan pikiran-pikiran masa itu di tanah Arab dan
Timur Tengah pada umumnya. Maka disadarilah bahwa dalam masa beberapa ratus
tahun antara abad XV dan XIX itu terdapat perbedaan besar dalam pikiran-pikiran
orthodox yang dikemukakan di Makkah ke daerah pesisir dan ke daerah pedalaman
di Indoneia yang kesmeunya menambah kokohnya golongan orthodox.
Pada akhir abad XIX pikiran-pikiran reformis Islam
yang timbul di Mesia di bawah pengaruh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh
sampai ke Indonesia dan pandangan yang
diutarakan oleh kaum modernis yang berkumpul di sekitar al Manar tersebarlah di
negeri ini. Gerakan reformiasi ini pada hakekatnya bertujuan pada semacam
kompromi antara rasionalisme (aqli) di satu pihak dan fundamentalisme
(mutadaiyin) di pihak lain. Muhammad Aduh menganjurkan supaya umat Islam
sekaligus berbareng menguasai ilmu dan teknik Barat, mencemplungkan diri dalam
proses modernisasi dengan berpegang
teguh pada fundamen-fundamen, asas-asas Islam serta memberikan perhatian yang
lebih besar kepada Qur'an dan Sunnah.[6]
D. RASYID RIDA
Rasyid Rida adalah murid Muhammad Abduh yang
terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh
dari kota Tripoli (Suria). Menurut
keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu ia memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya. Semasa kecil ia
dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis,
berhitung dan membaca Al Qur'an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Al
Madrasah Al Wataniah Al Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain
dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan di samping
pengetahuan-pengatahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern.
Sekolah ini didirikan oleh al Syaikh Husain Al Jisr,
seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di masa itu
sekolah-sekolah missi Kristen telah mulai bertimbulan di Suria dan banyak
menarik perhatian orang tua untuk memasukkan anak-anak mereka belajar di sana. Dalam usaha menandingi
daya tarik sekolah-sekolah missi inilah maka Al-Syaikh Husain Al Jisr
mendirikan Sekolah Nasional Islam tersebut, tapi mendapat tantangan dari
pemerintah Kerajaan Usmani sehingga umur sekolah itu tidak panjang.
Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di salah satu
sekolah agama yang ada di Tripoli, tetapi dalam pada itu
hubungan dengan Al-Syaikh Husain Al Jisr berjalan terus dan guru inilah yang
menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh
ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abdul melalui majalah Al-Urwah Al
Wustaqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul
tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik
untuk berjumpa dan berdialog dengan murid Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan
Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran
pembaharuan yang diperolehnya dari Al Syaikh Husain al Jisr dan yang kemudian
diperluas lagi dengan ide-ide al Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi
jiwanya.
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu
ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari
pihak Kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu
memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad abduh. Pada bulan Januari
1898 ia sampai di negeri gurunya ini.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah
yang termasyhur, Al Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan Al
Manar sama dengan tujuan Al Urwah Al Wusqa, antara lain, mengadakan pembaharuan
dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhyul dan bid'ah-bid'ah
yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat
dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat
tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap
permainan politik negara-negara Barat.
Majalah ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad
Abduh. Guru memberikan ide-ide kepada murid dan kemudian muridlah yang
menjelaskan dan menyiarkannya kepada umum melalui lembaran-lembaran Al-Manar,
tetapi selain dari ide-ide, Al Manar juga mengandung artikel-artikel yang
dikarang Muhammad Abduh sendiri, juga tulisan pengarang-pengarang lain.[7]
E. Pemikiran RASYID RIDA
- Dalam bidang Agama
Rasyid
Rida melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Al Qur'an, yaitu tafsiran
yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan
kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern tetapi guru tidak sefaham
dengan murid dalam hal ini. Akan tetapi, Muhammad Abduh akhirnya setuju untuk
memberikan kuliah mengenai tafsir al Qur'an di al Azhar setelah didesak
muridnya. Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan dihadiri oleh Rasyid
Rida. Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat untuk seterusnya disusun
dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya
karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Dengan demikian timbulah apa yang
kemudian dikenal dengan tafsir al Manar. Muhammad Abduh memberikan
kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal,
murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan
guru. Muhammad Abduh memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari surat an Nisa' (Jilid III dari
tafsir al Manar) dan selanjutnya adalah tafsiran murid sendiri.
- Bidang pendidikan
Rasyid Rida juga merasa perlunya dilaksanakan ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke
dalam kurikulum mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi,
ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing
dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping fikih,
tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa diberikan di madrasah-madrasah
tradisional.
Di ketika ia ingin membuka madrasah baru di tahun
1909, kepadanya sampai keluhan-keluhan dari beberapa dunia Islam, diantaranya
dari Indonesia tentang aktivitas missi
Kristen di negara-negara itu. Untuk menandingi aktivitas ini ia melihat
perlunya diadakan sekolah missi Islam. Di tahun itu juga Ia pergi ke Istambul
meminta sokongan dan bantuan tetapi tidak berhasil. Usahanya di Cairo akhirnya
berhasil, dan di tahun 1912 dapat didirikan sekolah yang dimaksud dengan nama
madrasarh Al Da'wah Al Irsyad.
Para lulusan akan dikirim ke
berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan mereka. Umur sekolah misi itu
tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya Perang Dunia I.
- Bidang Politik
Sewaktu masih di tanah airnya Rasyid Rida telah
pernah memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir ia juga ingin
meneruskan kegiatan politiknya. Tetapi atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi
lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia memulai bermain
politik. Di dalam majalan al Manar ia mulai menulis dan memuat karangan-karangan
yang menentang pemerintahan absolut Kerajaan Usmani. Selanjutnya juga
tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membagi-bagi
dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing.
Untuk
menggagalkan politik Inggris-Perancis itu, ia kunjungi beberapa negara
Arab guna menjelaskan bahaya politik kerjasama Arab dengan Inggris dan Perancis
dalam usaha mereka menjatuhkan Kerajaan Usmani. Usahanya dengan Raja Faisal di
Hejaz gagal. Selanjutnya ia turut memainkan peranan dalam kongres Suria dan
dalam perundingan Arab dengan Inggris.
Di Konferensi Jenewa ia turut serta sebagai anggota Delegasi
Suria-Palestina.
Di masa tua, sungguhpun kesehatannya telah selalu
terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia
meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya dari menghantarkan pangeran
Su'ud ke kapal di Suez.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rayid
Rida, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al
Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang
ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ke dalam Islam telah banyak masuk bid'ah
yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat. Di antara bid'ah itu ialah
pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat
pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagiaan
di akhirat dan dunia diperoleh, demikian Rasyid Rida, melalui hukum alam yang
diciptakan Tuhan. Satu bid'ah lain yang mendapat tantangan keras dari Rasyid
Rida ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya hidup duniawi,
tentang tawakal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh
dan wali.[8]
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya, murni dari segala bid'ah yang mendatang itu. Islam murni itu
sederhana sekali, sederhana dalam ibadat dan sederhana dalam muamalatnya.
Ibadat kelihatan berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam
ibadat telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya
sunat. Mengenai hal-hal yang sunat ini terdapat perbedaan faham dan timbulah
kekacauan. Dalam soal muamalat, hanya dasar-dasar ini diserahkan kepada umat
untuk menentukannya. Hukum-hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan,
sungguhpun itu didasarkan atas al Qur'an dan Hadis tidak boleh dianggap absolut
dan tak dapat dirobah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan
zaman ia timbul. Terhadap sikap fanatik yang terdapat dizamanya ia menganjurkan
supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal dasarlah yang perlu
dipertahankan kesamaan faham umat, tetapi dalam hal perincian dan bukan dasar
diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya.
Selanjutnya ia menganjurkan pembaharuan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab
hukum.[9]
F.
Pengaruh
Pemikiran Keduanya di Indonesia
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada
umumnya ~ yang dikenal dengan gerakan pembaharuan ~ didorong oleh dua faktor
yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang
dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan
pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki
dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik.
Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme
(persatuan Islam sedunia) yang mula-mula
didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun gagasan ini baru
disuarakan dengan lantang oleh tokok pemikir Islam terkenal, Jamaluddin
al-Afghani (1839 – 1897 M).
Kedua gerakan ini serta adanya usaha untuk
memulihkan kembali kekuatan Islam, di Indonesia muncul partai politik besar
yang menentang penjajahan di Indonesia seperti Sarekat Islam (S1), didirikan
tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, parti ini merupakan kelanjutan
dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. tak lama
kemudian partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional
Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI baru), didirikan oleh Mohammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan
berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam Indonesia dalam perjuangannya untuk
mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam
kenyataan, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari
kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk
kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun
perjuangan bersenjata, dan (2) pendidikan dan propaganda dalam rangka
mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.
Akhirnya, negara berpenduduk mayoritas muslim yang
pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaanya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17
Agustus 1945.
Membahas kondisi umat Islam Indonesia, adalah umat yang unik.
Keunikan itu dpat dilihat dari besarnya kuantitas para pemeluknya, akan tetapi
kecil kualitas peranannya, terutama dalam percaturan politik pemerintahan. Hal
semacam ini dapat terjadi karena bermacam-macam sebab, seperti: latar belakang
pendidikan, lingkungan, kedudukan, keturunan dan banyak lagi. Kondisi demikian
tentu membawa pola berpikir dan pandangan tentang Islam satu sama lain berbeda.
Kondisi umat Islam Indonesia seperti ini perlu mendapat
perhatian yang serius dari kalangan pemikir Islam. Akhirnya pada abad ke XIX
pikiran-pikiran reformasi Islam yang timbul di Mesir di bawah pengaruh
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh bermunculan. Hal ini disebabkan karena
perhubungan antara Indonesia dengan Makkah menjadi lebih
cepat dengan adanya kapal api. Maka makin banyak orang Indonesia pergi menunaikan ibadah
haji dan mereka berkenalan dengan pikiran-pikiran masa itu di tanah Arab dan
Timur Tengah pada umumnya. Maka disadarilah bahwa dalam masa beberapa ratus
tahun antara abad XV dan abad XIX itu terdapat perbedaan besar dalam
pikiran-pikiran orthodox yang dikemukakan di Makkah ke daerah pesisir dan ke
daerah pedalaman di Indonesia yang kesemuanya itu
menambah kokohnya golongan orthodox.
Timbulnya gerakan reformasi ini pada hakekatnya
bertujuan pada semacam kompromi antara rasionalisma (aqli) di satu pihak dan
fundamentalisme (mutadaiyin) di lain pihak. Muhammad Abduh menganjurkan supaya
umat Islam sekaligus berbareng menguasai ilmu dan teknik Barat, mencemplungkan
diri dalam proses modernisasi dengan berpegang teguh fundamen-fundamen,
asas-asas Islam serta memberikan perhatian yang lebih besar kepada Qur'an dan
Sunnah.
Gerakan salaf (orthodox) masuk ke Indonesia bersamaan pulangnya Haji
Miskin (1802) dari ibadah haji dan sementara bermukim, pulang ke Minangkabau.
Orang-orang itulah terkenal dengan julukan "Harimau nan Salapan"
yang dinamakan kaum Paderi, berpakaian serba putih, mereka mengadakan
perombakan secara kekerasan radikal, sehingga terjadi peperangan antara mereka
dengan pemerintah colonial Belanda.
Gerakan pembaruan ini berkembang pesar, kemudian
menjalar ke Sumatra Barat, Jambi, Palembang, Sumatera Timur, Tapanuli, Bengkulu
dan Lampung. Madrasah-madrasah modern mulai didirikan dan tumbuh bak cendawan
di musim hujan, menambah semaraknya sinar agama Islam, terhadap perkembangan
yang demikian, tak ada jalan lain lagi bagi pemerintah colonial Belanda
melainkan hanya menyaksikan dengan kecemasan, dari sana akan timbul pemberontakan
hebat untuk menghancurkan penjajah yang telah menjadi golongan vested
interest.
Dengan cepatnya gerakan pembaruan itu membakari
kemunduran-kemunduran Islam di seluruh bagian Nusantara. Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan
di mana saja sinar Islam itu padam apinya, dinyalakan kembali oleh gerakan
salaf itu.[10]
G. Penutup
Lahirnya pemikiran modern di awal abad keduapuluh tidak dapat
dilepaskan dari situasi sosial, politik dan keagamaan yang umumnya dihadapi
umat Islam saat itu. pemikiran-pemikiran yang dicetuskan Muhammad Abduh mencoba
untuk menjawab tantangan yang dihadapi sesuai dengan kemampuan para tokoh dan
pemikir membaca dan memahami situasi
yang ada.
Menghadapi masalah sosial, politik dan keagamaan, agama pun saat itu
telah kehilangan ruhnya dan menjadi simbol-simbol yang tidak bermakna. Khurafat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bid’ah merajalela
di lingkungan agama, taklid mengiringi setiap mazhab.
Sadar akan ketinggalan dan kemunduran umat Islam, muncullah di Mesir
Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh, Khedewi Abbas, Muhammad Said dan masih
banyak tokoh-tokoh yang memikirkan kebangkitan Islam.
Kebangkitan umat Islam mulai terpikirkan pada abad ke sembilan belas,
dengan terbukanya pintu-pintu ijtihad yang membuka pemikiran atau ide-ide untuk
mengembangkan umat Islam. Terkikisnya taklid terhadap mazhab-mazhab yang sudah
membelenggu para pengikutnya. Dan kembalinya umat Islam kepada tuntunan awal
yaitu Qur’an dan Sunnah.
Daftar
Pustaka
Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang. Jakarta.
Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dan
Tantangan-tantangan yang dihadapi dari Masa ke Masa. Pustaka Nasional PTE
LTD Singapura. 1985.
Harus Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan. Bulan Bintang. Jakarta. 1975.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999.
[1] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Bulan
Bintang. Jakarta. 1975.
[2]
Muhammad Ad Daudi, Pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammadiyah, Bulan
Bintang. Jakarta. 1996.
[3] Ibid.,
hal. 100.
[4] Op.
Cit., hal. 104
[5] Lock.
Cit. hal. 110.
[6] Khazanah
Intelektual Islam, Bulan Bintang. Jakarta
[7]
Harun Nasution, Ibid., 64.
[8] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
1999.
[9] Imam
Munawwir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-tantangan yang dihadapi dari Masa
ke Masa. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. 1985.
[10] Ibid.,
120.
Klik aku di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih