SELAMAT DATANG

Selamat Datang di http://widodoalgani.blogspot.com
Semoga Bermanfaat.
Mohon tinggalkan komentar.

Kamis, 06 Oktober 2011

DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA

DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA




Masalah dualisme pendidikan di Indonesia sudah terlalu sering diperbincangkan baik dalam forum-forum berskala nasional, maupun dalam diskusi-diskusi terbatas baik resmi maupun tidak resmi. Melalui media massa pun, masalah dualisme telah sering disorot dan jadi topik polemik.

Tidak ada yang menyangkal bahwa dualisme maupun dikotomi dari sistem pendidikan kita, yaitu pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” – baca keagamaan – di pihak lain adalah warisan dari zaman kolonial Belanda. Seperti disebutkan oleh Dr. Mochtar Naim, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6 % dan terbatas pada anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok pesantren dan surau yang memang sudah ada sebelum muncul sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda.
Sekolah-sekolah agama, dengan demikian boleh dikatakan merupakan satu-satunya tempat pendidikan bagi anak-anak orang Islam, terutama di desa-desa. Dalam perkembangannya, karena tekanan dari politik diskriminatif pemerintah kolonial, sekolah-sekolah agama Islam memisahkan diri dan terkotak dalam kubu tersendiri.
Menurut Steenbrink, semenjak abad ke delapan belas sebetulnya pemerintah kolonial Belanda telah menyadari akan pentingnya peranan dan keberadaan sekolah-sekolah agama sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak pribumi. Hal itu dibuktikan bahwa pada tahun 1819 Gubernur Jenderal Van der Capellen telah memerintahkan aparatnya untuk mengadakan penelitian terhadap pendidikan masyarakat Jawa, dengan tujuan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Dari penelitian itu dilaporkan adanya pendidikan agama Islam (Perguruan Agama Islam) dengan memakai bahasa Arab, yang merupakan lembaga pendidikan paling penting di kalangan orang-orang Jawa (yang beragama Islam).
Pada akhir abad ke delapan belas demikian Dr. Karel A. Steenbrink beberapa kali diusulkan agar lembaga pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan pada kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikan “umum”. Akan tetapi pada reorganisasi dan pengembangan sistem pendidikan kolonial dalam kenyataannya pemerintah kolonial Belanda selalu memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. J.A. van der Chijs, Inspektur Pendidikan Kolonial yang pertama di Indonesia dan beberapa orang pembantunya menilai tradisi didaktis pendidikan Islam terlalu jelek. Sejalan dengan penilaian van der Chijs itu, Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam dengan alasan Gubernur Jenderal tidak mau mengorbankan keuangan negara untuk sekolah-sekolah tersebut yang pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan pemerintah kolonial.          
Setelah kemerdekaan dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial tetap mengakar dalam dunia pendidikan kita. Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam telah mendorong sebagian pimpinan dan pengelola sekolah-sekolah tersebut berpegang pada sikap semula : Berdiri di kutub yang berbeda dengan sekolah “umum”.
Pada tahun 1950, terjadi suatu peristiwa penting, dan oleh sebagian orang dinilai sebagai “accident”  sejarah dalam dunia pendidikan kita, yaitu ketika Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada yang diperuntukkan bagi golongan Nasional dan dalam waktu bersamaan menetapkan perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta diperuntukkan bagi umat Islam.
Pertimbangan pemerintah (Presiden Soekarno) waktu itu tidak terlepas dari situasi politik yang terjadi di masa itu. Tetapi bagaimanapun pertimbangan untuk mengkotakkan golongan Islam dan golongan Nasional ke dalam kutub “pendidikan Agama” dan “pendidikan umum”, merupakan kelanjutan tradisi dualisme dari zaman kolonial.
Karena trauma sejarah, boleh jadi, bahwa kalaupun tidak diurus oleh Departemen Agama, sekolah-sekolah agama (madrasah, pondok pesantren dan diniyah) akan tetap berjalan sendiri dengan segala coraknya, apapun implikasi yang timbul terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari segi ini, keikutsertaan Departemen Agama dalam menangani sekolah-sekolah agama itu sangat diperlukan. Sebab kalau tidak sekolah-sekolah agama itu akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri, apalagi umumnya bukan milik pemerintah, tetapi dikelola oleh masyarakat.
Kenyataannya keikut sertaan pihak Departemen Agama dalam mengurus pendidikan telah banyak berbuat dan berjasa dalam menjembatani dualisme pendidikan di Indonesia. Dengan tugas dan fungsinya di bidang pendidikan Departemen Agama telah mengembangkan apa yang disebut Karel Steenbrink dengan konsep konvergensi, yaitu di satu pihak memasukkan pelajaran agama pada kurikulum sekolah umum, dan di lain pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum sekolah agama (madrasah).
Perlu dicatat bahwa semenjak tahun-tahun pertama kemerdekaan atau tepatnya setelah berdiri Departemen Agama 3 Januari 1946, hubungan kerjasama Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah terjalin baik.
Memang akibat pengaruh politik di masa jaya PKI, hubungan kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Agama dalam memantapkan konsep konvergensi pendidikan itu tidak selalu berjalan mulus.
Dengan uraian yang agak panjang tentang akar dualisme dalam dunia pendidikan kita, dan perkembangannya di masa kemerdekaan, saya ingin menegaskan bahwa masalah dualisme pendidikan di Indonesia, memiliki akar sejarah  yang panjang, yang di dalamnya mengandung dimensi politik dan dimensi agama (seperti politik diskriminatif pemerintah kolonial Belanda yang anti Islam dan sikap perlawanan dari golongan Islam). Demikian pula dengan beberapa kejadian yang tidak diinginkan yang kita sebut sebagai accident sejarah. Karena itu masalah dualisme pendidikan di Indonesia bukan sekedar masalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Agama, walaupun seperti diutarakan oleh Dr. C.E. Beeby (konsultan utama pada Ford Foundation di Indonesia) dalam laporan pendidikan yang berbeda dan sewaktu-waktu bisa saling melototkan mata. Jadi masalah dualisme sekali lagi, bukan sekedar masalah pertimbangan efisiensi, efektifitas dan soal produktifitas, tetapi dualisme pendidikan kita memiliki akar sejarah yang panjang dan menyangkut masalah agama, politik, psikologis dan sebagainya.
Klik aku di sini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih