DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA
Masalah dualisme
pendidikan di Indonesia
sudah terlalu sering diperbincangkan baik dalam forum-forum berskala nasional,
maupun dalam diskusi-diskusi terbatas baik resmi maupun tidak resmi. Melalui
media massa pun, masalah dualisme
telah sering disorot dan jadi topik polemik.
Tidak ada yang menyangkal bahwa dualisme maupun dikotomi
dari sistem pendidikan kita, yaitu pendidikan “umum” di satu pihak dan
pendidikan “agama” – baca keagamaan – di pihak lain adalah warisan dari zaman
kolonial Belanda. Seperti disebutkan oleh Dr. Mochtar Naim, karena anak-anak
yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6 % dan terbatas pada
anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih
madrasah atau pondok pesantren dan surau yang memang sudah ada sebelum muncul
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda.
Sekolah-sekolah agama, dengan demikian boleh dikatakan
merupakan satu-satunya tempat pendidikan bagi anak-anak orang Islam, terutama
di desa-desa. Dalam perkembangannya, karena tekanan dari politik diskriminatif
pemerintah kolonial, sekolah-sekolah agama Islam memisahkan diri dan terkotak
dalam kubu tersendiri.
Menurut Steenbrink, semenjak abad ke delapan belas
sebetulnya pemerintah kolonial Belanda telah menyadari akan pentingnya peranan
dan keberadaan sekolah-sekolah agama sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak
pribumi. Hal itu dibuktikan bahwa pada tahun 1819 Gubernur Jenderal Van der
Capellen telah memerintahkan aparatnya untuk mengadakan penelitian terhadap
pendidikan masyarakat Jawa, dengan tujuan meningkatkan kemampuan membaca dan
menulis. Dari penelitian itu dilaporkan adanya pendidikan agama Islam
(Perguruan Agama Islam) dengan memakai bahasa Arab, yang merupakan lembaga
pendidikan paling penting di kalangan orang-orang Jawa (yang beragama Islam).
Pada akhir abad ke delapan belas demikian Dr. Karel A.
Steenbrink beberapa kali diusulkan agar lembaga pendidikan Islam yang ada
dimanfaatkan pada kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikan “umum”.
Akan tetapi pada reorganisasi dan pengembangan sistem pendidikan kolonial dalam
kenyataannya pemerintah kolonial Belanda selalu memilih jalan lain dari pada
menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. J.A. van der Chijs, Inspektur
Pendidikan Kolonial yang pertama di Indonesia
dan beberapa orang pembantunya menilai tradisi didaktis pendidikan Islam
terlalu jelek. Sejalan dengan penilaian van der Chijs itu, Menteri Kolonial
menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam dengan alasan Gubernur
Jenderal tidak mau mengorbankan keuangan negara untuk sekolah-sekolah tersebut
yang pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang
sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan dualisme yang diwariskan pemerintah
kolonial tetap mengakar dalam dunia pendidikan kita. Pandangan beberapa pejabat
yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam
telah mendorong sebagian pimpinan dan pengelola sekolah-sekolah tersebut
berpegang pada sikap semula : Berdiri di kutub yang berbeda dengan sekolah
“umum”.
Pada tahun 1950, terjadi suatu peristiwa penting, dan oleh
sebagian orang dinilai sebagai “accident” sejarah dalam dunia pendidikan kita, yaitu ketika
Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada yang
diperuntukkan bagi golongan Nasional dan dalam waktu bersamaan menetapkan perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta diperuntukkan bagi umat Islam.
Pertimbangan pemerintah (Presiden Soekarno) waktu itu tidak
terlepas dari situasi politik yang terjadi di masa itu. Tetapi bagaimanapun
pertimbangan untuk mengkotakkan golongan Islam dan golongan Nasional ke dalam
kutub “pendidikan Agama” dan “pendidikan umum”, merupakan kelanjutan tradisi
dualisme dari zaman kolonial.
Karena trauma sejarah, boleh jadi, bahwa kalaupun tidak
diurus oleh Departemen Agama, sekolah-sekolah agama (madrasah, pondok pesantren
dan diniyah) akan tetap berjalan sendiri dengan segala coraknya, apapun implikasi
yang timbul terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari segi ini,
keikutsertaan Departemen Agama dalam menangani sekolah-sekolah agama itu sangat
diperlukan. Sebab kalau tidak sekolah-sekolah agama itu akan berjalan dengan
arahnya sendiri-sendiri, apalagi umumnya bukan milik pemerintah, tetapi
dikelola oleh masyarakat.
Kenyataannya keikut sertaan pihak Departemen Agama dalam
mengurus pendidikan telah banyak berbuat dan berjasa dalam menjembatani
dualisme pendidikan di Indonesia.
Dengan tugas dan fungsinya di bidang pendidikan Departemen Agama telah
mengembangkan apa yang disebut Karel Steenbrink dengan konsep konvergensi, yaitu di satu pihak memasukkan pelajaran agama
pada kurikulum sekolah umum, dan di lain pihak memasukkan pelajaran umum dalam
kurikulum sekolah agama (madrasah).
Perlu dicatat bahwa semenjak tahun-tahun pertama
kemerdekaan atau tepatnya setelah berdiri Departemen Agama 3 Januari 1946,
hubungan kerjasama Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
telah terjalin baik.
Memang akibat pengaruh politik di masa jaya PKI, hubungan
kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Agama
dalam memantapkan konsep konvergensi pendidikan itu tidak selalu berjalan
mulus.
Dengan uraian yang agak panjang tentang akar dualisme dalam
dunia pendidikan kita, dan perkembangannya di masa kemerdekaan, saya ingin
menegaskan bahwa masalah dualisme pendidikan di Indonesia, memiliki akar
sejarah yang panjang, yang di dalamnya
mengandung dimensi politik dan dimensi agama (seperti politik diskriminatif
pemerintah kolonial Belanda yang anti Islam dan sikap perlawanan dari golongan
Islam). Demikian pula dengan beberapa kejadian yang tidak diinginkan yang kita
sebut sebagai accident sejarah.
Karena itu masalah dualisme pendidikan di Indonesia
bukan sekedar masalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen
Agama, walaupun seperti diutarakan oleh Dr. C.E. Beeby (konsultan utama pada
Ford Foundation di Indonesia) dalam laporan pendidikan yang berbeda dan
sewaktu-waktu bisa saling melototkan mata. Jadi masalah dualisme sekali lagi,
bukan sekedar masalah pertimbangan efisiensi, efektifitas dan soal
produktifitas, tetapi dualisme pendidikan kita memiliki akar sejarah yang
panjang dan menyangkut masalah agama, politik, psikologis dan sebagainya.
Klik aku di sini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih