HAKIKAT
JAHILIYAH
Jahiliyah (bahasa Arab:
جاهلية, jahiliyyah)
adalah konsep dalam agama Islam yang berarti "ketidaktahuan akan petunjuk
ilahi" atau "kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan".[1] Keadaan
tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab sendiri, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum
diturunkannya al-Qur'an. Pengertian khusus kata jahiliyah ialah keadaan
seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an.
Masa jahiliyah seperti yang pernah terjadi
di jazirah Arab belasan abad yang silam memang telah berlalu, namun demikian
pada dasarnya pemikiran akan selalu ada dan setiap kaum itu ada pewarisnya.
Maka meskipun Abu Jahal dan Abu Lahab serta antek-anteknya telah tiada, akan
tetapi tidak menutup kemungkinan gaya
dan karakter mereka masih melekat pada sebagian ummat yang hidup di masa ini.
Syaikh Muhammad at-Tamimi, seorang imam
dakwah tauhid di masanya, telah menyebutkan lebih dari seratus karakteristik
jahiliyah yang kita semua diperintahkan untuk menyelisihinya. Karena
keterbatasn tempat maka dalam kesempatan ini hanya kami sebutkan sebagiannya
saja. Di antara yang terpenting untuk diketahui adalah sebagai berikut:
1.
Syirik Dalam Beribadah
Orang-orang jahiliyah melakukan syirik atau
penyekutuan di dalam beribadah dan berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala. Di
samping memohon kepada Allah subhanahu wata'ala mereka juga memohon kepada
orang orang shaleh yang telah mati, mereka meminta syafaatnya di sisi Allah
dengan persangkaan bahwa Allah dan orang-orang shalih tersebut menyintai hal
itu. Allah subhanahu wata'ala telah berfirman, artinya,
"Dan mereka menyembah selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak
pula kemanfa'atan, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafa'at
kepada kami di sisi Allah". (QS.Yunus:18).
Di dalam ayat lain disebutkan, artinya,
"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata),
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS.az-Zumar:3)
Kemusyrikan semacam ini merupakan masalah
paling besar yang diingkari oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka
beliau mengajarkan keikhlasan (pemurnian/tauhid) dalam beribadah hanya kepada
Allah subhanahu wata'ala semata. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memberitahukan bahwa agama yang beliau bawa adalah agama seluruh rasul, dan
Allah subhanahu wata'ala tidak akan menerima kecuali orang yang ikhlas. Juga
menjelaskan bahwa siapa saja yang melakukan kesyirikan dengan dasar istihsan
(menganggap baik) maka Allah subhanahu wata'ala mengharamkan baginya surga dan
tempat kembalinya adalah neraka.
Masalah inilah yang menjadi garis pemisah
antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan dengan sebab itulah terjadi
perseteruan antara tauhid dengan syirik. Dan untuk inilah (memerangi
kesyirikan) Allah subhanahu wata'ala mensyari'atkan jihad, sebagaimana
difirmankan, artinya,
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah." (QS. al-Anfal:39)
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah." (QS. al-Anfal:39)
2.
Bercerai Berai Dalam Agama
Di antara sifat jahiliyah
adalah bercerai berai (tafarruq) dalam agama, sebagaimana difirmankan Allah
subhanahu wata'ala, artinya, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka." (QS. 30:31-32)
Demikian pula dalam urusan
dunia, mereka juga berpecah belah, dan masing-masing memandang diri mereka yang
paling benar. Maka datanglah Islam menyeru untuk bersatu dalam agama,
sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu,
"Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya."
(QS. Asy-Syura:13)
Kita dilarang untuk
meniru-niru mereka dan dilarang berpecah belah. Allah subhanahu wata'ala
berfirman, artinya, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (QS.Ali
Imran:105) Dalam ayat sebelumnya
disebutkan, artinya, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali Imran:103)
3.
Tidak Menaati Ulil Amri
Menurut mereka,
menyelisihi ulul amri (pemegang urusan ummat, red) dan tidak menaati mereka
merupakan keutamaan dan kemuliaan. Sedangkan mendengarkan dan taat kepada
waliyul amri adalah kerendahan dan kehinaan. Maka Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan untuk mendengarkan dan taat kepada ulul
amri,bersabar atas kezhaliman penguasa dan memberikan nasehat kepada mereka.
Beliau sangat menekankan itu, menjelaskannya serta mengulang-ulanginya.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, artinya,
"Sesungguhnya Allah ridha pada kalian dalam tiga hal; "Jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun; Jika kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah; dan jika kalian saling memberi nasehat kepada orang yang diserahi oleh Allah untuk memegang urusan kalian." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
"Sesungguhnya Allah ridha pada kalian dalam tiga hal; "Jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun; Jika kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah; dan jika kalian saling memberi nasehat kepada orang yang diserahi oleh Allah untuk memegang urusan kalian." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berbagai problem yang
dihadapi manusia baik dalam masalah agama ataupun keduniaan tidak lain
disebabkan karena adanya masalah dalam tiga hal ini, atau salah satu dari
ketiganya.
4.
Membangun Agama di Atas
Taqlid
Bahwa agama orang
jahiliyah sebagian besarnya dibangun di atas landasan taqlid (ikut-ikutan), dan
ini merupakan kaidah terbesar seluruh orang kafir baik yang dulu maupun di masa
kini, sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Dan demikianlah, Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguh nya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguh nya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka". (QS.az-Zukhruf:23)
Dalam ayat lainnya
disebutkan, artinya, "Dan apabila
dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka
menjawab, "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakan nya".Dan apakah mereka (akan mengikuti
bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang
menyala-nyala (neraka)?" (QS. 31:21)
Oleh karena itu Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam datang dengan menyerukan firman Allah subhanahu
wata'ala, artinya, "Katakanlah, "Sesungguhnya aku hendak
memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah
(dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan
(tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu."
(QS.Saba':46)
Juga firman Allah
subhanahu wata'ala, artinya, "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)." (QS. Al-A'raf:3)
5.
Bangga dengan Banyaknya
Pengikut
Di antara prinsip yang
dipegang olah kaum jahiliyah adalah merasa bangga dan terlena dengan banyaknya
jumlah mereka, dan mereka menjadikanya sebagai hujjah atas kebenaran sesuatu.
Dan sebaliknya mereka berhujjah bahwa yang batil adalah segala sesuatu yang
asing bagi mereka dan sedikit pengikutnya.
6.
Mengukur Kebatilan dengan
Orang Lemah
Orang jahiliyah menganggap
bahwa segala sesuatu yang pengikut nya orang-orang lemah adalah kebatilan.
Mereka mengatakan sebagaimana di dalam firman Allah subhanahu wata'ala,
artinya, "Mereka berkata, "Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal
yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?"
Mereka juga menggunakan
qiyas yang keliru dan mengukur kebatilan dengan kecerdasan, sebagaimana firman
Allah subhanahu wata'ala, "Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir
dari kaumnya, "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang
manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti
kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya
saja ." (QS.Hud:27)
Kehidupan
Zaman Jahiliyah
Kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah berada dalam kekacauan
yang luar biasa. Mereka menyekutukan Allah, banyak berbuat maksiat, tidak
memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan moral
lain.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang merupakan Nabi dan Rasul
terakhir, diutus di saat tiadanya para Rasul. Vakumnya masa itu dari para
pembawa risalah dikarenakan Allah murka kepada penduduk bumi baik orang Arab
dan selainnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang
mereka telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
bersabda :
Sesungguhnya
Allah melihat kapada penduduk bumi. Lalu murka kepada mereka, Arab atau
ajamnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab. (HR Muslim)
Saat itu,
memang hanya satu di antara dua orang ahlul kitab yang berpegang dengan kitab
yang sudah dirubah dan/atau dihapus, atau dengan agama yang punah, baik bangsa
Arab atau lainnya. Sebagiannya tidak diketahui dan sebagian yang lain sudah
ditinggalkan. Akibatnya, seorang yang umi (tidak bisa baca tulis) hanya bisa
bersemangat beribadah namun dengan apa yang ia anggap baik dan disangka
memberi manfaat baik berupa bintang, berhala, kubur, benda keramat, atau yang
lainnya.
Manusia saat
itu benar-benar dalam kebodohan yang sangat akan ucapan-ucapan yang mereka
sangka baik padahal bukan, serta amalan yang disangka baik padahal rusak.
Paling mahirnya mereka adalah yang mendapat ilmu dari warisan para Nabi
terdahulu namun telah samar bagi mereka antara haq dan batil. Atau yang sibuk
dengan sedikit amalan meski kebanyakannnya mengamalkan bid’ah yang dibuat-buat.
Walhasil, kebatilannya berlipat-lipat kali dari kebenarannya. (Iqtidha’
Sirathal Mustaqim 1/74-75)
Inilah
gambaran ringkas keadaan manusia yang sangat parah saat itu, khususnya di kota
Makkah dan sekitarnya. Keadaan tersebut mulai terlihat sejak munculnya Amr bin
Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai orang yang gemar ibadah dan beramal baik
sehingga masyarakat waktu itu menempatkannya sebagai seorang ulama.
Sampai suatu
saat, Amr pergi ke daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya beribadah
kepada berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya kitab-kitab Samawi (kitab-kitab
dari langit).
Ketika
pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama Hubal. Ia kemudian
meletakkannya di dalam Ka’bah dan menyeru penduduk Makkah untuk menjadikannya
sebagai sekutu bagi Allah dengan beribadah kepadanya. Disambutlah seruan itu
oleh masyarakat Hijaz, Makkah, Madinah dan sekitarnya karena disangka sebagai
hal yang benar. (Mukhtasor Sirah Rasul hal. 23 & 73).
Sejak itulah,
berhala tersebar di setiap kabilah. Di samping Hubal yang menjadi berhala
terbesar di Ka’bah dan sekitarnya dan juga menjadi sanjungan orang-orang
Makkah, terdapat pula berhala Manat di antara Makkah dan Madinah. Manat
merupakan sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj dan qabilah dari Madinah. Juga
ada Latta di Thaif dan Uzza. Ketiga berhala ini merupakan yang terbesar dari
yang ada. (lihat Mukhtasor Siroh Rasul 75-76 Rahiqul Makhtar :35).
Akibatnya,
peribadatan kepada berhala menjadi pemandangan yang sangat mencolok. Apalagi,
kesyirikan tersebut disangka masyarakat waktu itu sebagai agama Ibrahim
‘alaihis salam. Padahal, tradisi menyembah berhala-berhala itu kebanyakannya
adalah hasil rekayasa Amr bin Luhay yang kemudian dianggap bid’ah hasanah.
Dijelaskan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tentang perbuatan Amr ini: “Saya melihat
Amr bin Amir (bin Luhay) Al-Khuza’iy menyeret ususnya di neraka. Dia yang
pertama kali melukai unta (sebagai persembahan kepada berhala dan yang pertama
mengubah agama Ibrahim ‘alaihissalam)” (HR Bukhari)
Diantara
tradisi syirik masyarakat waktu itu adalah menginap di sekitar berhala itu,
memohonnya, mencari berkah darinya karena diyakini dapat memberi manfaat,
thawaf, tunduk dan sujud kepadanya, menghidangkan sembelihan dan sesaji kepadanya,
dan lain-lain. Mereka melakukan hal itu karena meyakini bahwa itu akan
mendekatkan kepada Allah dan memberi syafaat sebagaimana Allah kisahkan dalam
Al Qur’an. Mereka mengatakan:
“Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)
“Dan
mereka menyembah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan
kenmudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat. Dan mereka berkata,
’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’”. (Yunus:
18)
Selain
kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian dan mengundi
nasib dengan 3 anak panah. Caranya dengan menuliskan “ya”, “tidak” dan
dikosongkan pada ketiga anak panah itu. Ketika ingin bepergian misalnya, mereka
mengundinya. Jika yang keluar “ya”, mereka pergi dan jika “tidak”, tidak jadi
pergi. Jika yang kosong maka diundi lagi.
Mereka
juga mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun, serta
menggantungkan nasib melalui burung-burung. Ketika ingin melekukan sesuatu,
mereka mengusir burung. Jika terbang ke arah kanan berarti terus, jika
ke arah kiri berarti harus diurungkan. Selain itu, mereka juga pesimis dengan
bulan-bulan tertentu. Misalnya karena pesimis dengan bulan safar, mereka
kemudian merubah aturan haji sehingga tidak mengijinkan orang luar Makkah untuk
haji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak mendapatkan, maka
melakukan thawaf dengan telanjang.
Kehidupan
sosial kemasyarakatan dalam kaitannya dengan hubungan lain jenis pun sangat
rendah, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sampai-sampai pada
salah satu cara pernikahan mereka, seorang wanita menancapkan bendera di depan
rumah. Ini merupakan tanda untuk mempersilahkan bagi laki-laki siapa saja yang
ingin ‘mendatanginya’. Jika sampai melahirkan, maka semua yang pernah melakukan
hubungan dikumpulkan dan diundang seorang ahli nasab untuk menentukan siapa
bapaknya, kemudian sang bapak harus menerimanya.
Poligami
saat itu juga tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa menikahi
wanita sebanyak mungkin. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak
menikahi bekas istri ayahnya dengan mahar semau laki-laki. Jika perempuan itu
tidak mau, maka laki-laki itu akan memaksa wanita itu untuk menikah kecuali
dengan siapa yang diizinkan olehnya. Sehingga dalam banyak hal, wanita
terdzalimi. Sampai yang tidak berdosapun merasakan kedzaliman itu, yaitu
bayi-bayi wanita yang ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.
Tentunya,
kenyataan yang ada lebih dari yang tergambar di atas. Meski tidak dipungkiri di
sisi lain mereka memiliki sifat atau perilaku yang baik, namun itu semua lebur
dalam kerusakan agama, moral yang bejat, yang di kemudian hari seluruhnya
ditentang oleh Islam dengan diutusnya Rasullallah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
sebagai pelita yang sangat terang bagi umat ini.
Dikutip dari:
http://www.asysyariah.com Penulis: Ustadz Qomar Suaidi Judul: Kondisi
Masyarakat Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih