SELAMAT DATANG

Selamat Datang di http://widodoalgani.blogspot.com
Semoga Bermanfaat.
Mohon tinggalkan komentar.

Selasa, 06 September 2011

HAKIKAT JAHILIYAH

HAKIKAT JAHILIYAH

Jahiliyah (bahasa Arab: جاهلية, jahiliyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang berarti "ketidaktahuan akan petunjuk ilahi" atau "kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan".[1] Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab sendiri, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diturunkannya al-Qur'an. Pengertian khusus kata jahiliyah ialah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an.
Masa jahiliyah seperti yang pernah terjadi di jazirah Arab belasan abad yang silam memang telah berlalu, namun demikian pada dasarnya pemikiran akan selalu ada dan setiap kaum itu ada pewarisnya. Maka meskipun Abu Jahal dan Abu Lahab serta antek-anteknya telah tiada, akan tetapi tidak menutup kemungkinan gaya dan karakter mereka masih melekat pada sebagian ummat yang hidup di masa ini.
Syaikh Muhammad at-Tamimi, seorang imam dakwah tauhid di masanya, telah menyebutkan lebih dari seratus karakteristik jahiliyah yang kita semua diperintahkan untuk menyelisihinya. Karena keterbatasn tempat maka dalam kesempatan ini hanya kami sebutkan sebagiannya saja. Di antara yang terpenting untuk diketahui adalah sebagai berikut:
1.      Syirik Dalam Beribadah
Orang-orang jahiliyah melakukan syirik atau penyekutuan di dalam beribadah dan berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala. Di samping memohon kepada Allah subhanahu wata'ala mereka juga memohon kepada orang orang shaleh yang telah mati, mereka meminta syafaatnya di sisi Allah dengan persangkaan bahwa Allah dan orang-orang shalih tersebut menyintai hal itu. Allah subhanahu wata'ala telah berfirman, artinya,
"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa'atan, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". (QS.Yunus:18).
Di dalam ayat lain disebutkan, artinya, "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS.az-Zumar:3)
Kemusyrikan semacam ini merupakan masalah paling besar yang diingkari oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau mengajarkan keikhlasan (pemurnian/tauhid) dalam beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan bahwa agama yang beliau bawa adalah agama seluruh rasul, dan Allah subhanahu wata'ala tidak akan menerima kecuali orang yang ikhlas. Juga menjelaskan bahwa siapa saja yang melakukan kesyirikan dengan dasar istihsan (menganggap baik) maka Allah subhanahu wata'ala mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka.
Masalah inilah yang menjadi garis pemisah antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan dengan sebab itulah terjadi perseteruan antara tauhid dengan syirik. Dan untuk inilah (memerangi kesyirikan) Allah subhanahu wata'ala mensyari'atkan jihad, sebagaimana difirmankan, artinya,
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah." (QS. al-Anfal:39)
2.      Bercerai Berai Dalam Agama
Di antara sifat jahiliyah adalah bercerai berai (tafarruq) dalam agama, sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. 30:31-32)
Demikian pula dalam urusan dunia, mereka juga berpecah belah, dan masing-masing memandang diri mereka yang paling benar. Maka datanglah Islam menyeru untuk bersatu dalam agama, sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya." (QS. Asy-Syura:13)
Kita dilarang untuk meniru-niru mereka dan dilarang berpecah belah. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (QS.Ali Imran:105)  Dalam ayat sebelumnya disebutkan, artinya, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali Imran:103)
3.      Tidak Menaati Ulil Amri
Menurut mereka, menyelisihi ulul amri (pemegang urusan ummat, red) dan tidak menaati mereka merupakan keutamaan dan kemuliaan. Sedangkan mendengarkan dan taat kepada waliyul amri adalah kerendahan dan kehinaan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mendengarkan dan taat kepada ulul amri,bersabar atas kezhaliman penguasa dan memberikan nasehat kepada mereka. Beliau sangat menekankan itu, menjelaskannya serta mengulang-ulanginya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya,
"Sesungguhnya Allah ridha pada kalian dalam tiga hal; "Jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun; Jika kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah; dan jika kalian saling memberi nasehat kepada orang yang diserahi oleh Allah untuk memegang urusan kalian." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berbagai problem yang dihadapi manusia baik dalam masalah agama ataupun keduniaan tidak lain disebabkan karena adanya masalah dalam tiga hal ini, atau salah satu dari ketiganya.
4.      Membangun Agama di Atas Taqlid
Bahwa agama orang jahiliyah sebagian besarnya dibangun di atas landasan taqlid (ikut-ikutan), dan ini merupakan kaidah terbesar seluruh orang kafir baik yang dulu maupun di masa kini, sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wata'ala, artinya,  "Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguh nya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguh nya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (QS.az-Zukhruf:23)
Dalam ayat lainnya disebutkan, artinya,  "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab, "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakan nya".Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?" (QS. 31:21)
Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang dengan menyerukan firman Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Katakanlah, "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu." (QS.Saba':46)
Juga firman Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)." (QS. Al-A'raf:3)
5.      Bangga dengan Banyaknya Pengikut
Di antara prinsip yang dipegang olah kaum jahiliyah adalah merasa bangga dan terlena dengan banyaknya jumlah mereka, dan mereka menjadikanya sebagai hujjah atas kebenaran sesuatu. Dan sebaliknya mereka berhujjah bahwa yang batil adalah segala sesuatu yang asing bagi mereka dan sedikit pengikutnya.
6.      Mengukur Kebatilan dengan Orang Lemah
Orang jahiliyah menganggap bahwa segala sesuatu yang pengikut nya orang-orang lemah adalah kebatilan. Mereka mengatakan sebagaimana di dalam firman Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Mereka berkata, "Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?"
Mereka juga menggunakan qiyas yang keliru dan mengukur kebatilan dengan kecerdasan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala, "Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja ." (QS.Hud:27)
 
Kehidupan Zaman Jahiliyah
Kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah berada dalam kekacauan yang luar biasa. Mereka menyekutukan Allah, banyak berbuat maksiat, tidak memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan moral lain.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang merupakan Nabi dan Rasul terakhir, diutus di saat tiadanya para Rasul. Vakumnya masa itu dari para pembawa risalah dikarenakan Allah murka kepada penduduk bumi baik orang Arab dan selainnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mereka telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Sesungguhnya Allah melihat kapada penduduk bumi. Lalu murka kepada mereka, Arab atau ajamnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab. (HR Muslim)
Saat itu, memang hanya satu di antara dua orang ahlul kitab yang berpegang dengan kitab yang sudah dirubah dan/atau dihapus, atau dengan agama yang punah, baik bangsa Arab atau lainnya. Sebagiannya tidak diketahui dan sebagian yang lain sudah ditinggalkan. Akibatnya, seorang yang umi (tidak bisa baca tulis) hanya bisa bersemangat beribadah namun dengan apa yang ia anggap baik dan disangka memberi manfaat baik berupa bintang, berhala, kubur, benda keramat, atau yang lainnya.
Manusia saat itu benar-benar dalam kebodohan yang sangat akan ucapan-ucapan yang mereka sangka baik padahal bukan, serta amalan yang disangka baik padahal rusak. Paling mahirnya mereka adalah yang mendapat ilmu dari warisan para Nabi terdahulu namun telah samar bagi mereka antara haq dan batil. Atau yang sibuk dengan sedikit amalan meski kebanyakannnya mengamalkan bid’ah yang dibuat-buat. Walhasil, kebatilannya berlipat-lipat kali dari kebenarannya. (Iqtidha’ Sirathal Mustaqim 1/74-75)
Inilah gambaran ringkas keadaan manusia yang sangat parah saat itu, khususnya di kota Makkah dan sekitarnya. Keadaan tersebut mulai terlihat sejak munculnya Amr bin Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai orang yang gemar ibadah dan beramal baik sehingga masyarakat waktu itu menempatkannya sebagai seorang ulama.
Sampai suatu saat, Amr pergi ke daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya beribadah kepada berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya kitab-kitab Samawi (kitab-kitab dari langit).
Ketika pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama Hubal. Ia kemudian meletakkannya di dalam Ka’bah dan menyeru penduduk Makkah untuk menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah dengan beribadah kepadanya. Disambutlah seruan itu oleh masyarakat Hijaz, Makkah, Madinah dan sekitarnya karena disangka sebagai hal yang benar. (Mukhtasor Sirah Rasul hal. 23 & 73).
Sejak itulah, berhala tersebar di setiap kabilah. Di samping Hubal yang menjadi berhala terbesar di Ka’bah dan sekitarnya dan juga menjadi sanjungan orang-orang Makkah, terdapat pula berhala Manat di antara Makkah dan Madinah. Manat merupakan sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj dan qabilah dari Madinah. Juga ada Latta di Thaif dan Uzza. Ketiga berhala ini merupakan yang terbesar dari yang ada. (lihat Mukhtasor Siroh Rasul 75-76 Rahiqul Makhtar :35).
Akibatnya, peribadatan kepada berhala menjadi pemandangan yang sangat mencolok. Apalagi, kesyirikan tersebut disangka masyarakat waktu itu sebagai agama Ibrahim ‘alaihis salam. Padahal, tradisi menyembah berhala-berhala itu kebanyakannya adalah hasil rekayasa Amr bin Luhay yang kemudian dianggap bid’ah hasanah.
Dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tentang perbuatan Amr ini: “Saya melihat Amr bin Amir (bin Luhay) Al-Khuza’iy menyeret ususnya di neraka. Dia yang pertama kali melukai unta (sebagai persembahan kepada berhala dan yang pertama mengubah agama Ibrahim ‘alaihissalam)” (HR Bukhari)
Diantara tradisi syirik masyarakat waktu itu adalah menginap di sekitar berhala itu, memohonnya, mencari berkah darinya karena diyakini dapat memberi manfaat, thawaf, tunduk dan sujud kepadanya, menghidangkan sembelihan dan sesaji kepadanya, dan lain-lain. Mereka melakukan hal itu karena meyakini bahwa itu akan mendekatkan kepada Allah dan memberi syafaat sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Qur’an. Mereka mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)
Dan mereka menyembah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan kenmudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat. Dan mereka berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’”. (Yunus: 18)
Selain kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian dan mengundi nasib dengan 3 anak panah. Caranya dengan menuliskan “ya”, “tidak” dan dikosongkan pada ketiga anak panah itu. Ketika ingin bepergian misalnya, mereka mengundinya. Jika yang keluar “ya”, mereka pergi dan jika “tidak”, tidak jadi pergi. Jika yang kosong maka diundi lagi.
Mereka juga mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun, serta menggantungkan nasib melalui burung-burung. Ketika ingin melekukan sesuatu, mereka mengusir burung. Jika terbang ke arah kanan berarti terus, jika ke arah kiri berarti harus diurungkan. Selain itu, mereka juga pesimis dengan bulan-bulan tertentu. Misalnya karena pesimis dengan bulan safar, mereka kemudian merubah aturan haji sehingga tidak mengijinkan orang luar Makkah untuk haji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak mendapatkan, maka melakukan thawaf dengan telanjang.
Kehidupan sosial kemasyarakatan dalam kaitannya dengan hubungan lain jenis pun sangat rendah, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sampai-sampai pada salah satu cara pernikahan mereka, seorang wanita menancapkan bendera di depan rumah. Ini merupakan tanda untuk mempersilahkan bagi laki-laki siapa saja yang ingin ‘mendatanginya’. Jika sampai melahirkan, maka semua yang pernah melakukan hubungan dikumpulkan dan diundang seorang ahli nasab untuk menentukan siapa bapaknya, kemudian sang bapak harus menerimanya.
Poligami saat itu juga tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa menikahi wanita sebanyak mungkin. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak menikahi bekas istri ayahnya dengan mahar semau laki-laki. Jika perempuan itu tidak mau, maka laki-laki itu akan memaksa wanita itu untuk menikah kecuali dengan siapa yang diizinkan olehnya. Sehingga dalam banyak hal, wanita terdzalimi. Sampai yang tidak berdosapun merasakan kedzaliman itu, yaitu bayi-bayi wanita yang ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.
Tentunya, kenyataan yang ada lebih dari yang tergambar di atas. Meski tidak dipungkiri di sisi lain mereka memiliki sifat atau perilaku yang baik, namun itu semua lebur dalam kerusakan agama, moral yang bejat, yang di kemudian hari seluruhnya ditentang oleh Islam dengan diutusnya Rasullallah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai pelita yang sangat terang bagi umat ini.
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis: Ustadz Qomar Suaidi Judul: Kondisi Masyarakat Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam


[1] Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque Foundation. p.11, 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Beri Komentar demi perkembangan blog ini....
Terima kasih