PENDIDIKAN
KARAKTER SAJA? TIDAK CUKUP!
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan
penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan
Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu
dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata
Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga
berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas
mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium
Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan
karakter di Indonesia,
bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum
berhasil membangun manusia Indonesia
yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena
banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian,
berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar
bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi
perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak
diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras,
kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan
dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang
wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah
proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan
karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk
berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu
membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi
haras dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan
yang ideal.
Di sinilah bisa
kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan dengan karakter
peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang
memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat
besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan
persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni
pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter,
sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bukunya
yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka
memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki
pribadi yang unggul:
"Banyak guru, dokter, hakim,
insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar,
tiba dalam masyarakat menjadi "mati", sebab dia bukan orang
masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari
harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada
kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan
jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya.
Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup."
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan
pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail
Marzuki, 6 April 1977,
Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa
feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan
pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri
utama manusia Indonesia:
1.
"Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK.
Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama
manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan
dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau
dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan
mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya."
2.
"Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas
perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. "Bukan
saya" adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia."
3.
"Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi
kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru
makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia."
4.
"Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada
yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai,
danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan
gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini
semua..."
"Kemudian, kita membuat
mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the
rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan
pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan
lambang yang dibuatnya sendiri."
5.
"Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.
Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan
atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa,
dan demi untuk "survive" bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat
gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia."
6.
"Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan,
berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta
besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala
apa yang serba mahal."
"Dia lebih suka tidak bekerja
keras, kecuali kalau terpaksa... atau dengan mudah mendapat gelar sarjana,
sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan
dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai
negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status
yang tertinggi." (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Tentu, silakan tidak bersetuju
dengan pendapat Mochtar Lubis!
Banyak pendidik percaya, karakter
suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai
bidang kehidupan. Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta:
Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam
menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan
karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek
kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind,
heart, and hands.
Dr. Ratna Megawangi termasuk salah
cendekiawan yang sangat gencar mempromosikan pendidikan karakter, melalui
berbagai aktivitas dan tulisannya. Pendidikan karakter by definition adalah
pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi
pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah
laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja
keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Aristoteles, kabarnya, juga
berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap
dimanifestasikan dalam tingkah laku.
Russel
Williams, seperti dikutip Ratna, menggambarkan karakter laksana
"otot", yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan
demi latihan, maka "otot-otot" karakter akan menjadi kuat dan akan
mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak melaksanakan suatu
aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena
cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good).
Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pad
atahun 1985 sudah mencangkan pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of
the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the
fundamental purpose of turning every
citizen into a man or woman of
character and cultivating more constructive members of society. Li Lanqing, mantan
wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3
Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang
dijalankan di Cina. Ia menulis: After many years
of practice, character education has
become the consensus of educators
and people from all walks of life
across this nation. It is being advanced in a comprehensive way."
Menurut Ratna
Megawangi, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi
manusia, sehingga tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan
pada aspek hafalan dan orientasi untuk lulus ujian. Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan
karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan
pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau
pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius
menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Tetapi, Doni
yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak
dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah
masyarakat yang plural. "Di zaman modern yang sangat multikultural ini,
nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai
sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama
ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah
penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah," tulisnya.
Oleh karena
itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu
mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu
tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini,
nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan
nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi
dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat
dinamis dan dialogis.
Dalam pandangan
Islam, pandangan sekularistik Doni K. Albertus semacam itu, tentu tidak dapat
diterima. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk
karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk.
Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada
nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural.
Memang ada pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan
Islam.
Namun, dalam
soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam
dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap
nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung
jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan
tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi,
masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya
masing-masing.
Terlepas dari
perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah
negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam
ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran
- seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara
(PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4), - belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang
sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak
ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat
memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan 'omongan', orang Indonesia dikenal jagonya!
Harap maklum,
konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide
UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana
siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak
berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan
malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat,
bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini
nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan
karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
Mohammad Natsir, salah satu
Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J.
Nieuwenhuis: "Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa
itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya."
Menurut rumus
ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah "guru" dan
"pengorbanan". Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan
mencetak "guru-guru yang suka berkorban". Guru yang dimaksud Natsir
bukan sekedar "guru pengajar dalam kelas formal". Guru adalah para
pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. "Guru"
adalah "digugu" (didengar) dan "ditiru"
(dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar
bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi
contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru
sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan
pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia
pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih
terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis
(Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru
dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota
mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan
istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Disamping itu,
Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada
murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda.
Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat
dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot
Gebeid (Marilah Shalat).
Kisah Natsir dan
sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah
dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja
keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu.
Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi
dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan
masyarakatnya.
Pada 17 Agustus
1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya
yang berjudul "Jangan Berhenti Tangan
Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut", Natsir
mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai
memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan
betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum
kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah
kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:
"Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya
habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka
muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang
mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang
lampau... Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta
dihargai...Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan
merajalela sifat serakah... Tak ada semangat dan keinginan untuk
memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari
cita-cita yang diluar dirinya... "
Peringatan
Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa,
khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah
guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya.
Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah
cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai
dunia." Lebih jauh, kata Natsir:
"Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan
itu merupakan gejala yang "baru", tidak kita jumpai pada masa
revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecualipada sebagian kecil elite
masyarakat). Tetapi, gejala yang "baru" ini, akhir-akhir ini terasa
amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika
gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat
mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada
umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."
Seorang dosen
fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan
survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas
kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom,
ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya
adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia
keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah
bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!
Kini,
sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah "guru-guru
sejati" yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan
berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa
amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala
mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya
melalui lembaga pendidikan.
Pendidikan
karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan
urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para
pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana,
hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama
sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka - yang dibiayai oleh rakyat
- adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.
Pada skala
mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah
tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas
sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah
terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara
tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang
taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan
dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa
dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman.
Kalau para tokoh
agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu,
serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan
Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan!
Tidak cukup!
Jika bangsa Cina maju sebagai hasil
pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter dengan
orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau ateis, bisa saja menjadi
pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai
kebersihan, dan sebagainya. Orang muslim juga bisa seperti itu. Dimana letak
bedanya?
Bedanya pada
konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi
seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan
beradab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari, misalnya, dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta'allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi'i yang menjelaskan begitu
pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau
mengejar adab laksana
seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang.
Lalu, Syaikh
Hasyim Asy'ari mengutip pendapat sebagian ulama: "at-Tawhidu yujibul imana, faman la imana lahu la tawhida lahu; wal-imanu yujibu al-syari'ata, faman la syari'ata lahu, la imana lahu wa la tawhida lahu; wa al-syari'atu yujibu al-adaba, faman la adaba lahu, la syari'ata lahu wa la imana lahu wa la tawhida lahu." (Hasyim Asy'ari, Adabul Alim wal-Muta'allim, Jombang:
Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).
Jadi, secara
umum, menurut Kyai Hasyim Asy'ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa
tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka
barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan
tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang
tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada
tauhid padanya.
Jadi, betapa
pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab? Uraian yang lebih rinci
tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib
al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah "pengenalan
serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana
susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang
berlaku dalam tabiat semesta." Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa
pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal
tanpa ilmu. "Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan
keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,"
demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu
pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam,
tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan
mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali
dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang
shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika
al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling taqwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat
kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Dalam
masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang
pelajar yang memenangkan Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina
ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya
dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah. Itulah adab kepada sesama
manusia.
Adab juga terkait dengan
ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak
menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan
makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam
al-Quran disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya
dengan al-Khaliq, padahal dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi
pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab
haruslah meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan
disamakan dengan makhluq.
Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi
Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi, beliau berbeda dengan manusia
lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak
diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus,
diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering
disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi
Presiden karena dianggap jika menjadi Presiden akan menjadi orang terhormat
atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat melakukan perubahan.
Sebagai
konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah
dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri
tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab
berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban
kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan amanah
risalah, dan siapa ulama "palsu" atau "ulama jahat (ulama su'). _Ulama jahat
harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati
sebagai ulama. Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah keliru
jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan
penguasa. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu
sesuai dengan martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan
ketaqwaannya, bukan karena kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya
pengikut. Maka, manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu
mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa
meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.
Syekh Wan Ahmad
al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj.
Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar seseorang mempunyai adab, maka ia
harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan Ahmad menyatakan :
"Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan
ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau daripada
segala adab dan hikmah."
Karena itulah,
sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta'dib, sebuah
proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang
beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan
kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab
mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru,
pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang
kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah
kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi.
Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan
niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja
dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul
'Alim wal-Muta'allim, KH Hasyim Asy'ari juga
mengutip hadits Rasulullah saw: "Barangsiapa
mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah
Ta'ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka."
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid
terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip
ungkapan Abu Darda' r.a. yang menyatakan: "Barangsiapa
berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia
kurang akalnya." Abu Hatim bin Hibban juga
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah
saw bersabda: "Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan
atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan
Allah."
Karena begitu
mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan
menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak
bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal.
Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan
sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa
tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab
inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia
harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar
keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan
pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori "tidak
beradab", alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani
pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab.
Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam
program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Itulah hakekat dari tujuan
pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana
dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: "The purpose for seeking knowledge
in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self.
The aim of education in Islam is
therefore to produce a goodman. the fundamental element inherent in the Islamic
concept of education is the
inculcation of adab."
"Orang
baik" atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak
cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak
ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, dan suka
mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan
membangun karakter dan adab sekaligus!
Moh. Iqbal dengan indah
menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena ketundukannya kepada
Allah:
"Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak
wasangka, Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa."