PENDIDIKAN
“PERLU” GRATIS
Pendidikan dasar merupakan sarana untuk
membangun landasan intelektual anak bangsa. Dengan didukung oleh UUD 1945 pasal
32 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Aturan tersebut memberikan gambaran
bahwa penyelengaraan pendidikan dasar merupakan kewajiban pemerintah sekaligus
hak masyarakat. Pendidikan dasar gratis secara teoritis bisa dilaksanakan,
terlebih hal tersebut sudah menjadi amanat konstitusi yang harus diwujudkan.
Kemampuan daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar gratis tidak sama.
Sumber biaya pendidikan yang terbesar bukan lagi dari APBN, melainkan dari APBD
kabupaten/kota. Sudah seharusnya pemerintah daerah menyediakan anggaran yang
cukup memadai untuk mendukung terwujudnya pendidikan dasar gratis. Beberapa
kabupaten/kota di Indonesia berhasil mewujudkan pendidikan dasar gratis tanpa
menunggu turunnya dana dari pusat. Peluang setiap daerah untuk dapat
melaksanakan pendidikan dasar secara gratis sejatinya sama. Akan tetapi jelas
bahwa mewujudkan pendidikan gratis tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketipdak
supksesan penyelenggaraan pendidikan dasar hanya akan memperparah pondasi
intelektual bangsa, dan pada gilirannya akan menurunkan daya saing bangsa di
tingkat global. Dengan mempertimbangkan implikasinya pada kualitas sumber daya
manusia di masa datang, tidak ada alasan bagi kita intuk menunda-nunda
pelaksanaan pendidikan dasar gratis.
Rencana pemerintah untuk menggratiskan
biaya sekolah, patut disambut dengan gembira. Dan, mungkin inilah yang
ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya di seluruh penjuru nusantara.
Lagipula, planning untuk mengalokasikan subsidi BBM ke sektor pendidikan itu,
tampaknya telah sepakati oleh beberapa fraksi di dewan perwakilan rakyat. Kabar
tersebut seperti diberikatakan oleh bebarapa media elektronik dan cetak
nasional beberapa waktu yang lalu.
Namun pertanyaan yang mengganjal di hati
saya adalah, mampukah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan
biaya pendidikan formal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya
upaya itu ditempuh untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out,
putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, di sisi lain, anak usia
sekolah yang mogok belajar bisa jadi disebabkan karena kurang perhatian dan
dukungan dari orang tua dan masyarakat sekitar. Sehingga anak tidak mempunyai
motivasi dan cita-cita yang mantap. Juga masih maraknya anggapan kuno dari
masyarakat yang menyatakan bahwa buat apa bersekolah tinggi-tinggi, kalau pada
akhirnya pekerjaan yang cocok sulit diperoleh alias menjadi penggangguran
setelah lulus sekolah.
Selain itu, pemerintah kurang peka
terhadap perkembangan di sekolah-sekolah. Karena jarangnya pemerintah
--khususnya yang bergelut di bidang pendidikan-meluangkan waktunya untuk
meninjau lokasi sekolah, maka pihaknya tidak tahu secara persis situasi dan
kondisi lingkungan sekolah. Padahal ada hal-hal yang perlu diperbaharui di sana,
misalnya saja, ada beberapa bangunan fisik sekolah yang sangat memprihatinkan,
bahkan tak pantas disebut sebuah sekolah ini. Ditambah pula dengan minimnya
tenaga pendidik, terutama di daerah pelosok yang sulit dijangkau plus alat-alat
sekolah yang kurang memadai.
Perlu diketahui bahwa yang namanya
pendidikan itu merupakan suatu usaha dilakukan oleh seseorang untuk dapat
menggali potensi diri yang dimilikinya yang berupa intelektual, skill dan
mengembangkan kepribadiannya. Dari itu, sekolah sebagai salah satu lembaga
pendidikan diharapkan dapat membantu (bukan menciptakan) terwujudnya
kompetensi-kompetensi yang ada pada diri siswa. Hal ini seperti yang dinyatakan
Drost bahwa sekolah itu bertugas sebagai pembantu orang tua dalam hal
pengajaran (bukan pendidikan). Maka, di sinilah peran guru sangat mutlak
diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Oleh karenanya, guru yang baik, tidak
hanya menjadi pengajar yang handal saja. Lebih dari itu, ia juga mampu menjadi
pendidik, pembina dan pelatih yang baik pula. Dengan begitu, interaksi yang
harmonis antara guru dan siswa akan berjalan dengan semestinya. Jika sudah
demikian, maka proses pengalihan ilmu pengetahuan dari guru kepada para
siswanya dapat dilakukan tanpa menemui banyak kesulitan. Akan tetapi, untuk
mewujudkan hal demikian itu, diperlukan bantuan orang tua siswa, masyarakat dan
pemerintah yang kelak akan menciptakan sebuah sekolah unggul.
Untuk dikatakan sekolah unggul, Syaiful
Sagala (2004) menyatakan bahwa sekolah harus mampu mengidentifikasikan
keinginan dan membuat daftar kebutuhan melalui proses analisis kebutuhan,
seperti para siswa menginginkan agar kegiatan belajar dapat memberikan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan secara mudah dan suasana belajar yang menyenangkan,
guru menginginkan tersedianya fasilitas dan sarana belajar yang cukup, orang
tua siswa menginginkan hasil belajar anaknya sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan orang tua dan pemerintah, dan masyarakat menginginkan agar hasil
belajar mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia
kerja.
Sekali lagi, agar proses belajar mengajar
dapat berlangsung dengan tertib, maka salah satu hal yang tidak boleh dilupakan
ialah menyangkut biaya pendidikan untuk melengkapi piranti pendukung belajar di
sekolah yang digunakan oleh guru dan siswa. Sebab, belajar tanpa disertai
dengan media pendidikan dan pengajaran akan menjadi faktor penghambat dalam
proses belajar-mengajar. Juga semangat belajar pun akan semakin turun sedikit
demi sedikit.
Nah, untuk itulah, pemerintah sewajarnya
bisa membantu dalam hal tersebut semaksimal mungkin. Karena itu, agar upaya
pemerintah untuk membantu pendidikan gratis, (atau lebih tepatnya meringankan
biaya pendidikan) ini tidak mubazir, sepatutnya perlu dipandang beberapa hal:
yakni, pertama, disadari atau tidak, yang namanya pendidikan itu memang mahal,
jika melihat konteks bahwa pendidikan (baca: mencari ilmu pengetahuan) itu
wajib bagi setiap orang semasa hidupnya, tidak hanya dibatasi sembilan tahun
saja. Karena itu, pihak terkait berusaha untuk menyalurkan dana pendidikan
sedemekian rupa agar dengan tepat sasaran.
Kedua, subsidi pendidikan dialokasikan
sebaiknya tidak hanya diperuntukkan terbatas pada siswa sekolah saja, melainkan
juga untuk kesejahteraan guru (atau bahkan orang tua/wali siswa?). Jangan lupa,
seorang guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan pimer
sehari-harinya. Ini juga untuk menghindari adanya 'kecemburuan sosial' terhadap
anak didiknya. Jika persoalan ekomomis guru terbantukan, -untuk tidak dikatakan
terpenuhi-maka setidak-tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk
memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja.
Ketiga, siswa yang berprestasi -tanpa
memandang tingkat status ekonomi-layak diberi award, penghargaan, misalnya
berupa beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi baik dalam maupun
luar negeri. Contoh semacam ini akan menjadi pemicu bagi siswa yang lain,
utamanya dari golongan yang the haven't, kurang mampu, untuk bisa mengejar
ketertinggalannya, dalam bidang akademik dan non akademik.
Keempat, perlu adanya jalur khusus bagi
siswa yang memiliki bakat dan minat yang berbeda, umpamanya dengan cara
memberikan sejumlah ketrampilan yang diminatinya. Ini untuk mencegah tekanan
jiwa pada siswa yang hanya memiliki kemampuan intelejensi yang biasa-biasa atau
pas-pasan saja, sehingga bisa menyalurkan skill yang tampak menonjol dalam
dirinya dan bahkan potensi belum muncul sekalipun.
Kelima, pemerintah, secara formal atau
nonformal, minimal sekali-kali meninjau, mengontrol, memonitoring kebijakan
yang telah dilontarkannya itu dari jarak dekat. Kegiatan ini perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah subsidi itu sudah digunakan dengan semestinya atau
tidak. Dengan demikian, peristiwa yang tidak diinginkan dapat mencemarkan citra
pendidikan, dapat sedini mungkin dicegah.
Dua Kemungkinan
Seandainya pendidikan gratis itu
benar-benar direalisasikan, diprediksikan ada dua kemungkinan yang akan muncul,
yakni dampak positif dan negatif. Kemungkinan pertama, pendidikan yang
diperoleh secara tanpa mengeluarkan biaya, semestinya malah menjadikan faktor
untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, orang tua siswa tidak
terlalu bersusah payah mengeluarkan sejumlah besar dana untuk membiayai anaknya
di sekolah sehingga mereka bisa berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pokok
mereka sendiri.
Lalu, agar subsidi itu dimanfaatkan sesuai
dengan rencana, maka subsidi seyogianya bukan berupa segepok uang yang
diberikan langsung kepada siswa, tetapi alangkah baiknya disalurkan langsung ke
sekolah, dan sisanya dalam bentuk buku-buku pelajaran atau bahan bacaan
penjunjang. Dan, jika terpaksa subsidi harus dicairkan dalam bentuk sejumlah
uang, seharusnya tetap dikontrol oleh pihak sekolah dan orang tua siswa
mengenai penggunaan dana sumbangan pendidikan tersebut.
Selanjutnya, kemungkinan kedua, pendidikan
gratis dari pemerintah itu bisa jadi membuat mutu pendidikan akan semakin
menurun atau sama seperti sebelumnya. Pasalnya, mereka, para siswa dan orang
tua yang minim tingkat ekonominya, berpikir bahwa mengenyam pendidikan sekolah
itu ternyata gampang, sehingga dalam belajar pun siswa menjadi asal-asalan.
Maka dari itu, perlu juga diberikan sanksi bagi siswa yang meremehkan, malas
belajar hingga berkali-kali harus 'mandeg' di kelas. Demikian juga orang tua
siswa perlu diberi pengertian dan peringatan agar selau membina dan mengarahkan
serta mengontrol perkembangan prestasi belajar anaknya di rumah.
Mencermati kemungkinan-kemungkinan
tersebut, agaknya program pendidikan gratis bagi kaum miskin kota
dan desa, menurut hemat saya, perlu dikaji ulang sebelum dan sesudah launching
ke masyarakat. Meskipun, diakui rencana itu baik dan dibutuhkan, namun hal
penting yang harus dilakukan oleh berbagai pihak -kelurga, sekolah, masyarakat,
dan pemerintah-- ialah menyaksikan bagaimana praktik riilnya nanti lapangan,
apakah berjalan di atas rel telah ditetapkan atau malah keluar dari jalur yang
semestinya. Karena, jika pendidikan gratis hanya berorientasi utama agar anak
itu bisa sekolah saja, dengan alat dan biaya secukupnya pun hal itu bisa
diwujudkan.
Tetapi lebih dari itu, bagaimana pula agar
siswa atau anak didik mampu mandiri -tidak terus-menerus menggantungkan
bantuan-- dengan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, sehingga pasca
tamat sekolah ia dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, atau menyalurkan
ketrampilannya di suatu instansi, atau mungkin menjadi wiraswasta dengan
membuka usaha sendiri yang modalnya diberikan (bukan dipinjamkan) oleh
pemerintah secara cuma-cuma. Pendeknya, dengan semua itu, diharapkan anak muda
usia yang tidak dapat merampungkan sekolah dan tidak mampu melanjutkan studi
serta belum memperoleh pekerjaan yang cocok, sedapat mungkin diminimalisir.
Dengan kata lain, sekolah berfungsi
sebagai wadah untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan membentuk sikap
kepribadian yang unik dalam setiap anak jiwa anak didik yang sedang mengalami
masa pertumbuhan. Dan, ini juga merupakan tanggung jawab sekolah untuk bekerja
bersama para orang tua mengoptimalkan potensi siswa agar mendapat manfaat dari
proses belajar di sekolah.
Kemudian dengan adanya potensi-potensi
yang itulah, maka siswa diusahakan mampu menemukan solusi yang efektif atas
masalah pribadi, dan kelompok atau komunitas baik di lingkungan sekolah maupun
masyarakat dengan memfungsikan sumber daya pengetahuan yang dikuasainya.
Berkenaan dengan hal ini, tampaknya kata-kata dari Jerome S Arcaro patut
direnungkan, bahwa "tujuan sekolah adalah untuk menemukan apa yang tidak
berjalan dan memperbaikinya sebelum hal tersebut menjadi masalah yang bertambah
besar". Ini berarti, sekolah diyakini sebagai problem solver, dan juga
pencegah problem agar tidak menjelma menjadi problem lebih parah lagi.
Pro Kontra Pendidikan Gratis
Impian
masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari
sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia
telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah
Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini
memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya
Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari kian
melambung, sumbangan ini itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya
lainnya.
Dilihat dari
perkembanganya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro
dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah
gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya
pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya
karena belum bayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah
bagaikan pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu
melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang pendidikan dan
penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa harus sekolah, kesadaran
akan pendidikan sangat kurang, anak lebih mementingkan pekerjaan dari pada
harus sekolah yang tidak mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya
sampai dengan Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak
utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.
Sekolah
menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar.
Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi
muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental
gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi,
dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing
di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya
menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah
adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan
yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya
murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini.
Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri
dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan
hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik
sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari
api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Sekolah,
terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional
sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air,
perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya
lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan
hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta
didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Kualitas Pendidikan vs Pendidikan Gratis
Pemberlakuan
sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat
belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar
mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan
dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan
pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2009 ini pemerintah
telah memutuskan untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi
APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga akan tersedianya anggaran untuk
menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat
rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya
berpendapatan Rp. 2 juta. Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan
dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa
baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran,
biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Sedangkan
biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti:
study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru
untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan
atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung
biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan
tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin
agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua. Bagaimana
jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam
pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi
kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap
terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Melihat
kondisi diatas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan
rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak
memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa.
Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua
orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi
kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam
banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak
yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian
dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan
sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan
aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
Dan bukankah
suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses
belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika
konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi
orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu
orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh
diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya.
Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya.
Penutup
Dari kejadian ini kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan gratis itu sangat sulit di wujudkan
terhadap suatu Negara yang SDM pengelola pendidikannya masih rendah. Bahkan
akan terpuruk pada penurunan kualitas pendidikan itu sendiri. Sekolah negeri
yang seharusnya gratis sebab di biayai pemerintah, ternyata tak mampu
meningkatkan pendidikan di Negara dan tidak memiliki daya saing dengan sekolah
swasta lainnya.
Kurangnya daya saing
inilah, baik karena pengelola ataupun guru membuat kualitas pendidikan menurun,
guru tak kreatif, dan pembelajaran berlangsung monoton. Dengan begitu akan
memunculkan kebosanan pada siswa yang belajar di sekolah tersebut dan kalau di
biarkan terus menerus akan menjadikan pendidikan sebagai momok yang di takuti
oleh siswa.
Maka dari itu, kalau kita
mau mewujudkan pendidikan yang gratis dan berkualitas, harus di iringi dengan
pengawasan yang ketat terhadap pengelola pendidikan. Jangan di biarkan begitu
saja. Walaupun para pengelola tersebut telah lulus dalam tes sebagai pengelola
yang sesuai dengan SOP yang telah di buat, tidak menutup kemungkinan akan turun
kualitasnya baik dari segi ilmu, kinerja, dan kreatifitas.
Akan tetapi, pembenahan
dari praktik perwujudan program Wajib Belajar 9 tahun tersebut tetap dapat
dilakukan secara simultan dengan realisasi program Wajib Belajar 12 Tahun.
Artinya, dari perspektif anggaran dan program, masalah pendidikan di semua
jenjang pada dasarnya serupa. Jika pemerintah memiliki komitmen kuat untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, pendidikan terjangkau dan
bermutu merupakan keniscayaan di republik tercinta ini.
Dengan demikian,
pendidikan perlu gratis tentunya hanya untuk masyarakat miskin yang ada di
Indonesia.